BAB I
EKOSISTEM
HUTAN RAWA GAMBUT
1. Defenisi Ekosistem
Istilah ekosistem pertama kali
diusulkan seseorang ahli ekologi berkebangsaan inggris bernama A.G. Tranley
pada tahun 1935, meskipun tentu saja konsep itu sama sekali bukan merupakan
konsep yang baru. Terbukti bahwa sebelum akhir tahun 1800-an, pertanyaan-pertanyaan
resmi tentang istilah dan konsep yang berkaitan dengan ekosistem mulai
terbitcukup menari dalam literatur-literatur ekologi diAmerika, Eropa, dan
Rusia. Ekosistem adalah unit fungsional dasar dalam ekologi yang didalamnya tercakup
organisme dan lingkunganya (Odum dalam Elfis,2006)
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran
energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara
organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada (Gumilar, 2010).
Ekosistem juga merupakan suatu interaksi yang kompleks
dan memiliki penyusun yang beragam. Dibumi ada bermacam-macam ekosistem. Secara
singkat ekosistem berarti sistem yang berlangsung dalam suatu Lingkungan. Di
dalam lingkungan terdapat komponen-komponen, baik komponen fisik (benda hidup/biotik dan benda mati/abiotik)
maupun komponen non fisik berupa hubungan manfaat suatu benda terhadap benda
lainnya (trofik). Di dalam
lingkungan juga terjadi suatu fenomena dinamika yang menyangkut hubungan
interaksi antar kelompok fisik, atau dapat dikatakan bahwa di dalam lingkungan
tersebut terjadi suatu sistem yang dinamis (Gumilar, 2010).
Unit ekologis adalah
ekosistem, yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas beragam populasi yang berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Daerah tersebut (
habitat), bisa jadi hanya sekecil kolam local ataupun seluas gurun sahara, Berbagai populasi yang berinteraksi. Setiap
ekosistem dalam suatu wilayah selalu mengalami perkembangan menuju ke arah
keseimbangan.
Perkembangan ekosistem
tersebut tergantung dari pola perkembangan komunitas yang ada di dalamnya.
Secara umum perkembangan ekosistem yang dikenal dengan suksesi ekologi ini,
melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere. Setiap sere
memberikan ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis dominan yang
ada dan faktor pembatas fisiknya (Gumilar, 2010)
2. Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas
kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu
tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan
gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah
daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat
penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe
ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik
yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara
periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga
menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu
terjadi pada hutan-hutan yang pohonnya tumbang dan tenggelam dalam lumpur yang
hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai pelaku
pembusukan tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahon-bahan
organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun
berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu
tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan (akar, batang, cabang,
ranting, daun, dan lainnya) dan mempunyai kandungan bahan organik yang sangat
tinggi. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian
dalam yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu
potongan-potongan kayu besar maupun sisa-sisa tumbuhan lainnya.
Berikut adalah bagan terbentuknya hutan gambut:
Gambar 1. Bagan pembentukan Hutan Gambut
(Sumber: Arsip Biologi 6D
2014).
|
Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu
tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan
20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 %
sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik
(Buckman dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam
Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu
ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang
air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti
jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan
gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat
tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
Gambar
2 : Ekosistem Hutan Rawa
Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D,
2014)
Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara
berlapis bersama tanah
mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan
organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya
mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau
tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau
histosol(Suhardjo, 1983).
Endapan gambut dataran rendah (low and peat) di indonesia telah dikenal
sangat luas sebarannya sesuai dengan dataran rendah pantai,tetapi sampai saat
ini perkiraan cadangan masih terlalu kasar. Shell (1983) memperkirakan bahwa
endapan gambut yang berkebalan lebih dari 1 meter yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan energi mencakup dataran rendah lebih dari 17 juta hektar
tersebar Sumatra, kalimantan, dan irian
jaya.
Sejak puluhan tahun terakhir ini timbul gagasan baru untuk membangun
daerah terpencil. Hal ini diperkuat oleh laporan Euroconsult, (1984) yang
antara lain menyatakan bahwa dalam jangka panjang dan tersedia konsemen,
industri pertambangan gambut sebagai bahan pembangkit listrik untuk daerah
terpencil di Indonesia akan dapat berkompetensi dengan pembangkit listrik bahan
minyak.
a. Karakteristik Lahan Gambut
Bahan induk pembentuk
tanah adalah bahan organik hasil akumulasi bagian – bagian tanaman hutan hujan
tropika. Gambut tropika umumnya berukuran kasar sekasar batang, dahan dan
ranting tumbuhan, sehubungan hal itu maka penetapan karakteristik gambut dengan
metode konvensonal menjadi bias. Tanah gambut umumnya terbentuk karena kondisi
jenuh air atau karena temperatur yang rendah, sehingga proses dekomposisi
berlangsung nisbi lambat dibanding proses akumulasi. Tanah gambut terbentuk dari endapan bahan organik sedenter
(pengendapan setempat) yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi
dataran rawa dengan ketebalan bervariasi, tergantung keadaan topografi/tanah
mineral di bawahnya.
Bahan dasar penyusun tanah
gambut didominasi oleh lignin dengan lingkungan yang kahat oksigen, sehingga
proses dekomposisi bahan organiknya lambat. Sifat fisika tanah gambut,
khususnya hidrolikanya ditentukan oleh tingkat pelapukan bahan organiknya.
Pengelompokan tanah gambut berdasarkan tingkat dekompoisi bahan organik dan berat
volume menghasilkan tiga macam tanah gambut,yakni fibrik, hemik, dan
saprik. Pengendalian drainase lahan gambut, dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya oksidasi gambut sehingga dapat menurunkan dekomposisi gambut. Hal
ini dapat dimungkinkan dengan penggenangan, menghindari pengusikan (distrubance)
dan mengatur tinggi permukaan air tanah (ground water level) di daerah
rhizosfer. Drainase gambut harus didekati dengan perspektif total pengelolaan
air yaitu dengan meminimalisir “stress” lengas tanah.
b. Struktur Floristik Hutan Rawa Gambut
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) menyatakan bahwa struktur vegetasi adalah organisme dalam ruang dan
individu-individu yang membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen primer
seperti bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan tajuk. Menurut Ibie (1997)
struktur tegakan dapat ditinjau dari dua bentuk yaitu struktur tegakan vertikal
dan struktur tegakan horizontal. Struktur tegakan vertikal oleh Ricard (1984)
dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Struktur
tegakan horizontal merupakan gambaran sebaran jenis pohon dengan dimesinya
yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan atau distribusi ruang areal
populasi dan individu-individu dan kelimpahan (kelimpahan masing-masing jenis
dalam komunitas)
(Kersaw,1964; Mauricio, 1987; Köhler, et al. 2001; Kellman, 1970 dan
Ewel, 1980).
Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur
tegakan adalah sebaran sementara fisik pohon dalam suatu tegakan. Sebaran dapat
digambarkan berdasarkan :
(a) jenis pohon,
(b) bentuk ruang horizontal dan vertikal,
(c) besarnya pohon atau bagian
pohon yang mencakup volume tajuk, luas
kanopi,
(d) umur pohon,
(e) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah
disebutkan sebelumnya.
Selanjutnya Mueller et al. (1974) berdasarkan tingkatannya membagi
struktur vegetasi menjadi lima aspek, yaitu :
·
fisiognomi vegetasi,
·
struktur biomassa,
·
struktur bentuk hidup,
·
struktur floristik dan
·
struktur tegakan.
Kelima tingkatan tersebut
tergabung kedalam satu susunan yang bertingkat, dalam hal ini tingkat pertama
termasuk kedalam tingkat kedua, tingkat kedua kedalam tingkat ketiga dan
seterusnya. Jadi kelima konsep struktur vegetasi
tersebut hanya menggambarkan perbedaan tingkatan
secara umum, dengan tingkat pertama paling umum dan tingkat kelima paling rinci.
Michon (1993) menyatakan
bahwa studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu metode
deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis.
Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman
arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus
yang berbeda-beda seperti adanya pohon, semak belukar, rumput atau tumbuhan
lain yang membentuk lapisan.
Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat
memberikan informasi mengenai dinamika poluasi suatu jenis atau kelompok jenis
mulau dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur tegakan hutan
dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok
jenis, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa struktur tegakan dapat diduga tingkat mortalitas dan
dengan mengetahui riap diameter pada tiap kelas diameter dapat diduga volume
produksi pada rotasi tebang berikutnya berdasarkan asas kelestarian (Marsono
dan Sastrosumarto, 1981).
Pembagian
Hutan Rawa Gambut
Tanpa memandang tingkat
dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga
(Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
1.
Gambut endapan; Gambut endapan biasanya
tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di
profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe
gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan
kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering
gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat
keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang
tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
2.
Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan
mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut
berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum
terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya
terlihat di atas endapan.
3.
Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat
dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah,
sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena
itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Menurut
Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi
tiga bagian, yaitu :
(1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
(2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum.
(1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
(2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum.
Bahan organik pada tanah
gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
1)
Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah,
sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang
dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
2)
Hemic merupakan peralihan dengan tingkat
dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 –
0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
3)
Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang
mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak
dengan warna hitam dan coklat kelam.
3. Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Klimatologi ialah ilmu yang menelaah tentang karakteristik iklim antar
wilayah. Klimatologi ini lebih ditekankan pada atas rata-rata dari unsur-unsur iklim yang menjadi cirri
dari suatu wilayah. Informasi klimatologi dapat digunakan sebagai penduga
keadaan suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya, curah hujan, dan angin pada
suatu wilayah pada waktu tertentu (Lakitan, 2002).
Klimatologi dibagi menjadi dua yaitu makro klimatologi dan mikro
klimatologi. Makro klimatologi adalah klimatologi yang mempelajari sifat-sifat
atmosfer pada daerah yang luas. Sedangkan mikro klimatologi adalah klimatologi
iklim pada daerah yang sempit. Klimatologi sangat penting bagi ekologi
tumbuhan. Dikontraskan dengan meteorologi yang mempelajari cuaca jangka pendek
yang berakhir sampai beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dimana
sistem cuaca ini terjadi (thesproduction Blogspot, 2008).
Iklim juga akan mempengaruhi jenis tanaman yang sesuai untuk
dibudidayakan pada suatu kawasan, penjadwalan budi daya pertanian, dan teknik
budi daya yang dilakukan petani. Pengetahuan tentang iklim sangat penting
artinya dalam sektor pertanian. Keeratan hubungan antara klimatologi (dan
meteorologi) dengan ilmu pertanian tercermin dengan berkembangnya cabang
klimatologi dan meteorologi yang khusus dikaitkan dengan kegaitan pertanian,
yang disebut sebagai klimatologi pertanian dan meteorologi pertanian (Lakitan,
2002).
Selanjutnya menurut Lakitan (2002), iklim merupakan salah satu faktor
(selain tanah) yang akan mempengaruhi distribusi tumbuhan. Wilayah dengan
kondisi iklim tertentu akan didominasi oleh spesies-spesies tumbuhan tertentu,
yakni speseis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim
tersebut. Berdasarkan keterkaitan yang erat antara kondisi iklim dengan spesies
tumbuhan yang dominan pada suatu wilayah, beberapa ahli membuat klasifikasi
iklim berdasarkan jenis tumbuhan yang dominan (beradaptasi baik) pada wilayah
tersebut.
4. Faktor edaphis hutan rawa gambut
Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan
organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi
serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan bahan
kandungan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang
mengandung bahan organik berkisar antara 15% sampai dengan 20% dan tanah
organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20% sampai dengan 25%
bahkan kadang-kadang sampai 90% mengandung bahan organik (Buckman and Brady,
1982). Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan satu
ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang
air, (b) komposisi jenis pohon beraneka ragam, (c) terdapat lapisan gambut pada
lantai hutan. (d) memppunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada
tanah yang bersifat masam.
Gambar 4: Tanah Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D 2014)
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan
bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
1)
Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di
dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil
bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut
lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal
serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut
ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras
dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak
cocok untuk pertumbuhan tanaman.
2)
Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan
mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut
berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum
terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya
terlihat di atas endapan.
3)
Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat
dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah,
sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena
itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut
digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh
curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang
mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000
mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
b.
Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena
pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan
mempunyai pH yang relatif tinggi.
c.
Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena
ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah
pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi
utamanya Sphagnum
Bahan organik
pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al1988) yaitu:
a)
Fibrik yang tingkat dekomposisinya masih rendah,
sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang
dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
b)
Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi
sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar
air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
c)
Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang
mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak
dengan warna hitam dan coklat kelam.
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut
pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar
tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur
lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada
umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam
oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan
bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya,
faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan
tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim,
kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan
suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk
daripada di dataran rendah atau pantai.
Vegetasi rawa atau air semula berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan
organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan
vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai
lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan
organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Selanjutnya Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah
gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik
pembentuk gambut. Tingkat kematangan gambut ini dicirikan oleh kandungan serat
bahan organik tersebut. Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan
jaringan tumbuhan yang tertahan oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak
termasuk akar hidup dan struktur jaringannya masih dapat dikenali. Fibric
adalah tingkat gambut yang dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi
serat. Tingkat kematangan hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga
sampai duapertiga volumenya. Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk,
kurang dari sepertiga volumenya masih berupa serat. Jumlah bentuk dan ukuran
serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Ruang pori total (RPT)
ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis rata-rata (average specifik density)
gambut, sedang sebaran ukuran pori dipengaruhi oleh sebaran fraksi/serat dan
struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat retensi air,
daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984).
Susunan kimia dan kesuburan tanah
gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan
lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta
kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses
pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan
dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah,
kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe
yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986).
Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur
hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas
air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan
tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin
tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam
Supraptohardjo, 1974). Menurut Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut
menggolongkan kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu :
1) Gambut
eutropik yang subur
2) Gambut
mesotropik dengan kesuburan sedang
3) Gambut
oligotropik dengan kesuburan rendah Lokasi HPH PT.
Yos Raya Timber didominasi oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut
yang miskin dengan sumber penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin
ke arah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara.
Kecendrungan semakin menurunya kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi
tajuk vegetasi hutan, menurunya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun
serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh
optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya
pH dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Sebagai
akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen sering memiliki
variasi lokal sebagai phasic communities (Anderson, 1961).
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong
ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan
tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang
tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh
dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki
sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga
dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi
hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi
iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya
pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Prichet (1979) menyatakan bahwa kemampuan hutan tropika basah Indonesia
bukan disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh
adanya siklus hara yang ketat dan tertutup yang mampu menyumbat peluang
kebocoran unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada hakekatnya
merupakan proses pembangunan ekosistem.
Pada saat suksesi mencapai klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada
dalam keadaan kondisi yang paling baik. Tanaman yang berkembang pada kondisi
ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling optimal. Dehutanisasi yang
diikuti oleh konversi hutan menjadi berbagai macam fungsi, betapun mulianya
tujuan program ini, secara ekologi pada hakekatnya memundurkan perjalanan
suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah watak siklus hara yang ketat dan
tertutup menjadi longgar dan terbuka akan memberikan peluang lebar terhadap
proses kebocoran hara mineral.
Jordan (1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih
banyak di simpan di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak
disimpan di kayu. Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary
productivity) hutan tropis lebih besar, namun lebih disebabkan oleh banyaknya
produksi daun. Banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara
yang ada di dalam hutan tropika basah tersimpan pada biomas tanaman dan bukan
pada tanah hutan sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur
haranya tersimpan di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses
pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan
daun. Oleh karena itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan
hara tanah secara drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah
temperate (nontropis).
Tidak adanya pasokan hara dari air tanah dan sungai menjadikan vegetasi
yang tumbuh digambut ombrogen akan tumbuh dalam siklus hara yang terbatas. Adanya kehilangan hara akibat proses
pencucuian atau terbawa keluarv oleh air gambut menjadikan gambut ombrogen
semakin miskin unsur hara. Dengan kondisis tersebut kubah gambut ombrogen
memiliki vegetasi dengan tipe yang khas yang berbeda antara bagian tepi kubah
dengan bagian pusat kubah. Pada bagian tepi kubah yang relatif dangkal,
perakaran tumbuhan masih dapat mencapai tanah mineral atau gambut topogen.
Pada bagian tersebut akan berkembang mixed
forest dengan pohon-pohon yang besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Semakin
ketengah kubah gambut terdapat deep peat
forest yang memiliki tumbuhan dengan ukuran lebih kecil dan memiliki
keragaman jenis yang lebih kecil dibandingkan vegetasi dibagian tepi. Pada
bagian tengah kubah gambut, berkembang vegetasi padang forest yang terdiri pohon-pohon kayu kecil dan jarang, pandan dan semak-semak .
Perubahan dari mixed forest menjadi deep feat forest terdapat pada kedalaman
gambut sekitar 3 meter (Adhi, 1986)
Telah dibuktikan bahwa semakin kepusat menuju ke puncak kubah gambut
terdapat penurunan jumlah hara mineral (Whitmore, 1990). Kondisi hara mineral
secara alamiah memang miskin di gambut ombrogen mempengaruhi produktivitas
primer. Meskipun studi tentang hal ini masih harus dilakukan,tetapi jumlah
bidang dasar di hutan rawa gambut menunjukkan bahwa produktivitas primer hutan
gambut, khususnya di daerah sekitar puncak kubah gambut, Sangat rendah. Whitten
et al., (1988) menyimpulkan bahwa dihabitat miskin seperti ini,masih tetap
memungkinkan tetap terjadinya pertumbuhan. Alasan utama adalah :
Di habitat dengan produktivitas rendah, tumbuhan harus memproduksi daun
yang lebih baik perlindunganya untuk meningkatkan daya hidup daun itu sendiri.
Daun memiliki batas hidup, biasanya terkait dengan jumlah kerusakan yang mampu
ditolelir, sehingga akan lebih menguntungkan bagi tumbuhan bila dapat menjamin
kerusakan selambat mungkin. Kemungkinan jaringan kutikula yang relatif tebal
pada jenis yang tumbuh di hutan rawa gambut berfungsi untuk mengurangi
pencucian hara dari daun hidup
Di habitat dengan produktivitas rendah dan ditumbuhi vegetasi dimana
produksi biji harus disertai dengan mekanisme anti predator, misalnya :
kandungan zat racun yang tinggi pada buah atau pembuahan secara besar-besaran,
biasanya terdapat sedikit jenis tumbuhan dan terdapat pengelompokan jenis
secara nyata.
Daun-daun yang tumbuh dihutab rawa gambut umumnya mengandung resin, aroma
yang menusuk. Hal ini merupakan ciri tumbuhan yang tumbuh di habitat miskin
hara terutama bila suplei nitrogen dan phospor sangat terbatas. Daun yang tebal
mungkin tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri terhadap kondisi
habitat, tetapi juga merupakan alat pertahanan terhadap herbivora (Whitten,et
al., 1988). Jarangnya epipit yang tumbuh ditajuk pohon di hutan rawa gambut
diinterprestasikan oleh Janzen (1974)
sebagai konsekuensi dari rendahnya kotoran burung, serangga, dan daun
atau ranting yang jatuh.
Meskipun beberapa organisme mikro mampu memecahkan senyawa fenol, tetapi
kerjanya sangat lambat dan membutuhkan organisme yang cukup akibatnya serasah
di hutan rawa gambut tidak disentuh oleh perombak selama beberapa minggu,
hingga kandungan senyawa fenol tercuci air hujan. Tingginya kandungan senyawa
fenol di hutan rawa gambut mempunyai pengaruh negatif terhadap akitivitas
organisme mikro, baik mirorhiza maupun jamur mikro lainya dan bakteri. Pengaruh
negatif ini akan meningkat di hutan rawa gambut yang ditebang. Hal ini
disebabkan oleh (Whitten et al., 1988):
1)
Kualitas hara yang rendah dari tanah hutan rawa
menyebabkan mikro lebih tergantung pada serasah untuk memperoleh hara.
2)
Kemasaman tanah yang tinggi
3)
Laju produksi serasah rendah akibat produktivitas
primer rendah
4)
Kualitas hara yang terkandung di serasah rendah karena
proses seleksi selama proses penarikan
kembali hara yang masih bisa
dimanfaatkan sebelum daun gugur.
Dalam ekosistem hutan rawa gambut, hara memasuki sistem melalui aliran
hidrologi yang berkaitan erat dengan
curah hujan atau aliran permukaan dan lairan tanah (Lugo, 1982). Namun studi
tentang siklus hara di indo malaya, sangat jarang ditemukan. Satu studi tentang
dinamika bahan organik di sumatra telah dilakukan oleh Brady (1991) yang
menyatakan bahwa salah satu sumber hara yang penting dalam ekosistem hutan rawa gambut, khususnya
gambut ombrogen, adalah air hujan. Dengan demikian, jumlah pasokan hara sangat
tergantung dari kualitas air hujan tersebut.
Selain dari curah hujan sumber hara dihutan rawa gambut ombrogen adalah
dari bahan organik (gambut) dan dari jaringan tumbuhan hidup (Whitten et al.,
1988). Gudang hara (sink) dalam ekosistem rawa gambut pada umumnya adalah air,
tanah (organik) dan biomas tumbuhan (Lugo, 1982).
Komponen-komponen ekosistem yang memiliki kapasitas menyimpan fosfor
adalah : tanah, kayu diatas tanah, kayu didalam tanah, daun, lapisan serasah,
dan air permukaan. Urutan komponen-komponen tersebut untuk menyimpan bahan
organik umumnya sama dengan urutannya untuk menyimpan hara mineral. Beberapa
unsur biomasa hidup, seperti daun, bunga dam buah menyimpan hara dalam
kosentrasi yang besar, sedangkan kayu, tanah dan air menyimpan hara yang lebih
lemah. Namun dalam level ekosistem., besarnya jumlah hara yang tersimpan dalam
masing-masing unsur biomas tersebut sangat dipengaruhi oleh ukuran unsur biomas
tersebut. Unsur biomas yang besar mengandung kosentrasi hara yang kecil,
mungkin menyimpan hara yang lebih banyak jumlahnya.
Aliran hara diantara unsur-unsur ekosistem tergantung pada ketersediaan
dan pengembalian hara. Suatu hara mineral mungkin tersimpan dalam jumlah besar
di satu unsur ekosistem, tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh unsur-unsur
ekosistem lainnya, sehingga pergerakan atau aliran hara tersebut terhambat.
Untuk bisa dimanfaatkan oleh unsur ekosistem lain, hara tersebut harus dirombak
secara kimiawi oleh organisme.
Laju pengembalian hara dari unsur-unsur ekosistem hutan rawa gambut
bervariasi menurut jenis mineral. Laju pengembalian hara yang membatasi
prduktivitas tumbuhan, seperti nitrogen dan fosfor sangat cepat sedangkan
hara-hara yang kurang kritis pengembaliannya lebih lambat (Golley, 1977).
Pada umumnya gambut tropika termasuk yang ada di Sumatera dan Kalimantan
secara terus menerus basah dengan muka air tanah di atas atau di dekat
permukaan gambut. Pohon-pohon yang ada di wilayah gambut yang masih berhutan,
masih berfungsi mempertahankan keseimbangan tingginya permukaan air tanah
melalui proses evapotranspirasi yang lambat dan seimbang. Disamping itu faktor lingkungan seperti efek penyanggah gambut yang porous,
permeabilitas lateral gambut fibrik dibagian tengah kubah, aliran permukaan
intensif melalui parit-parit kecil melalui aliran penghubung yang memungkinkan
adanya pelepasan air secara melimpah di bagian tepi kubah, yang segera diikuti
bagian dalam kubah (karena porous) dari waktu ke waktu yang biasanya dapat
diamati sewaktu hari hujan (Wahyunto et al., 2005).
Lahan gambut memegang peranan yang penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa. Salah satu sifat gambut
yang berperan dalam sistem hodrologi adalah daya menahan air yang dimilikinya.
Gambut memiliki daya menahan air yang besar hingga 300-800% dari bobotnya.
Selain daya menahan air, gambut juga memiliki daya lepas air yaitu jumlah air
yang dilepaskan jika permukaan air diturunkan per satuan kedalaman yang juga
besar. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut yang sangat dalam ( lebih dari
4 meter) sangat berperan pada konservasi air ( Wetland, 2005; Wahyunto et al.,
2005).
5. Komposisi Gambut
Gambut adalah sisa timbunan tumbuhan yang telah mati dan kemudian
diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen ang lebih stabil.
Selain zat organik yang gambut terdapat juga zat anorganik dalam jumlah yang
kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air
(lebih dari 90%). Zat organik pembentuk sama dengan tumbuhan dalam perbandingan
yang berlainan sesuai dengan tingkat pembusukannya. Zat organik tersebut
terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wak dan resin), humus dan lain-lain.
Komposisi zat organik ini tidak stabil tergantung pada proses pembusukan,
misalnya cellulosa pada tingkat pembusukan dini (H1-H2) sebanyak 15-20 % tetapi
pada tingkat pembusukan lanjut (H9-H10) hampir tidak ditemukan. Sebaliknya
humus pada cellulosa pada tingkat pembusukan dani terdapat 0-15 %, sedangkan
pada gambut yang telah mengalami pelapukan yang lebih tinggi (H9-H10) mencapai
50-60 %. Unsur –unsur pembentukan gambut sebagai besar terdiri dari karbon
(C),hidrogen (H),nitrogen (N) dan oksigen (O). selain unsur utama terdapat juga
unsur lain Al,Si,S,P,Ca. dan lain-lain dalam bentuk terikat. Tingkat pembusukan
pada gambut akan menaikkan kadar karbon (C) dan menurunkan oksigen (O).
Daerah gambut topogenus lebih bermanfaat untuk lahan pertanian
dibandingkan dengan daerah gambut ombrogenus karena gambut topogenus mengandung
relatif lebih banyak nutrisi. Kedua jenis gambut tersebut pada hakikatnya secara
megaskopis agak sukar didefenisikan secara pasti karena kompleksnya tahapan
proses pembusukan. Komposisi gambut menentukan mutu dan kegunaannya yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan zat organik,abu,bulk
density,kandungan kayu dan lain-lain.
6. Ciri –Ciri Ekosistem Rawa Gambut
Menurut penjelasan Elfis, yang menjadi ciri khas rawa gambut adalah sebagai berikut:
1)
Warna air hitam, hal itu terkait dengan tingginya
kandungan bahan organik
2)
Tanaman rawa gambut tumbuh di atas humus
3)
Tinggi tanaman rata-rata sama.
4)
Diameter batang tanaman besar
5)
Tanamannya lambat besar dibandingkan tanaman darat.
7. Klasifikasi Ekosistem Rawa Gambut
Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut
termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik
lebih dari 20% tekstur pasir atau lebih dari 30% tekstur liat. Lapisan yang
mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut
sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat
perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist
dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan
penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk
daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain: tropofolist, tropofibrist,
tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai
perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50oC.
8. Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai
pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan
hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Dephut,
2005). Menurut Daniel et al., (1995) sistem silvikultur merupakan program
pengelolaan hutan untuk seluruh rotasi. Batasan ini membantu menjamin beberapa
keseragaman dan kontinyuitas jangka panjang dari perlakuan yang diterapkan.
Berdasarkan hal tersebut perhatian harus difokuskan pada langkah penting dari
regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang keliru, bahwa sistem
silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi hutan yang dapat
menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya.
Rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau letak yang
menjorok masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh
dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Dalam pengertian yang lebih luas, rawa
digolongkan sebagai lahan basah (wet lands) atau lahan bawahan (low lands),
Lahan gambut merupakan salah satu contoh lahan rawa (Noor, 2004). Gambut
merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau
rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan
proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi
akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut (Sagiman, 2007).
Menurut Hardjowigeno (1997) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting
adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreverssible dan
subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan
kadar lengas gambut.
9.
Siklus Biogeokimia Hutan Rawa Gambut
a.
Pengertian Siklus Biogeokimia
Materi yang
menyusun tubuh organisme berasal dari bumi. Materi yang berupa unsur-unsur
terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk hidup dan tak
hidup. Siklus biogeokimia atau siklus organic anorganik adalah siklus unsur
atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali
lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui
organisme, tetapi jugs melibatkan reaksi-reaksi kimia dalam lingkungan abiotik
sehingga disebut siklus biogeokimia. Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus
air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen, dan siklus sulfur.
b.
Fungsi Siklus Biogeokimia
Fungsi Daur
Biogeokimia adalah sebagai siklus materi yangmengembalikan semua unsur-unsur
kimia yang sudah terpakai oleh semuayang ada di bumi baik komponen biotik
maupun komponen abiotik,sehingga kelangsungan hidup di bumi dapat terjaga.
c.
Jenis-jenis daur biogeokimia
1)
Siklus Nitrogen
Atmosfer
mengandung lebih kurang 80% atom nitrogen dalam bentuk gas nitrogen (N2).
Di dalam organisme, nitrogen ditemukan dalam semua asam amino yang
merupakan penyusun protein. Bagi tumbuhan, nitrogen tersedia dalam bentuk
amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-)
yang masuk ke dalam tanah melalui air hujan dan pengendapan debu-debu
halus atau butiran lainnya. Beberapa tumbuhan, seperti seperti
Bromeliaceae epifit yang ditemukan di hutan hujan tropis, memiliki akar
udara yang dapat mengambil NH4+ dan NO3- secaralangsung
dari atmosfer.
Jalur lain
penambahan nitrogen dalam ekosistem adalah melalui fiksasi nitrogen
(nitrogen fixation). Fiksasi nitrogen merupakan proses perubahan gas
nitrogen (N2) menjadi mineral yang digunakan untuk mensintesis
senyawa organik seperti asam amino. Nitrogen difiksasi oleh bakteri
Rhizobium, Azotobacter, dan Clostridium yang hidup bebas dalam tanah.
Selain dari sumber alami, sekarang ini fiksasi nitrogen dibuat secara
industri yang digunakan sebagai pupuk. Pupuk bernitrogen ini memberikan
sumbangan utama dalam siklus nitrogen di suatu ekosistem akibat kegiatan
pertanian.
Meskipun
tumbuhan dapat menggunakan amonium secara langsung, tetapi sebagian besar
amonium dalam tanah digunakan oleh bakteri aerob tertentu sebagai sumber
energi. Aktivitas ini mengubah amonium menjadi nitrat (NO3-)
kemudian menjadi nitrit (NO2-). Proses ini disebut
nitrifikasi. Nitrat yang dibebaskan bakteri ini kemudian diubah oleh
tumbuhan menjadi bentuk organik, seperti asam amino dan protein.
Beberapa hewan
akan mengasimilasi nitrogen organik dengan cara memakan tumbuhan atau
hewan lain. Pada kondisi tanpa oksigen (anaerob), beberapa bakteri dapat
memperoleh oksigen untuk metabolisme dari senyawa nitrat. Proses ini
disebut denitrifikasi. Akibat proses ini, beberapa nitrat diubah
menjadi N2 yang kembali ke atmosfer. Perombakan dan
penguraian nitrogen organik kembali menjadi amonium yang disebut amonifi
kasi dilakukan oleh bakteri dan jamur pengurai. Proses-proses tersebut
akan mendaur ulang sejumlah besar nitrogen di dalam tanah.
2)
Siklus Fosfor
Keberadaan
fosfor pada organisme hidup sangat kecil, tetapi peranannya sangat
diperlukan. Atom fosfor hanya ditemukan dalam bentuk senyawa fosfat (PO43-).
Fosfat diserap oleh tumbuhan dan digunakan untuk sintesis organik. Fosfor
banyak dikandung oleh asam nukleat, yaitu bahan yang menyimpan dan
mentranslasikan sandi genetik. Atom fosfor juga merupakan dasar bagi ATP
(Adenosine Tri Phospat) berenergi tinggi yang digunakan untuk respirasi
seluler dan fotosintesis. Selain itu merupakan salah satu mineral penyusun
tulang dan gigi.
Fosfor
merupakan komponen yang sangat langka dalam organisme tak hidup.
Produktivitas ekosistem darat dapat ditingkatkan jika fosfor dalam tanah
ditingkatkan. Peristiwa pelapukan batuan oleh fosfat akan menambah
kandungan fosfat di dalam tanah. Contohnya adalah akibat hujan asam.
Setelah produsen menggabungkan fosfor ke dalam bentuk biologis, fosfor
dipindahkan ke konsumen dalam bentuk organik. Setelah itu, fosfor
ditambahkan kembali ke tanah melalui ekskresi fosfat oleh hewan dan
bekteri penguarai detritus.
Humus dan
partikel tanah mengikat fosfat sedemikian rupa, sehingga siklus fosfor
terlokalisir dalam ekosistem. Namun, fosfor dapat dengan mudah terbawa
aliran air yang pada akhirnya terkumpul di laut. Erosi yang terjadi akan
mempercepat pengurasan fosfat di samping pelapukan batuan yang sejalan
dengan hilangnya fosfat.
Fosfat yang
berada di lautan secara perlahan terkumpul dalam endapan yang kemudian
tergabung dalam batuan. Ketika permukaan air laut mengalami penurunan atau
dasar laut mengalami kenaikan, batuan yang mengandung fosfor ini menjadi
bagian dari ekosistem darat. Dengan demikian, fosfat mengalami siklus di
antara tanah, tumbuhan, dan konsumen dalam waktu tertentu.
3)
Siklus Karbon dan Oksigen
Di atmosfer
terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara berasal dari
respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap
pabrik. Karbon dioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk
berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh
manusia dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu
yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan
lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.
Di ekosistem
air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. Karbon
dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai menjadi
ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang memproduksi
makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain. Sebaliknya,
saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi bikarbonat.
Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.
4)
Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi
adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses di
atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses
kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh
sinar mataharibmerupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan
secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam
bentuk air, es, atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi
dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian
diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah,
siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
a.
Evaporasi /
transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb.
kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan.
Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang
selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
b.
Infiltrasi /
Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan
pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat
aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah
permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
c.
Air Permukaan -
Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin
landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin
besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban.
Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa
seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air
permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan
sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan
berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam
komponenkomponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai
(DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah
wujud dan tempatnya.
Suksesi Vegetasi Hutan Rawa Gambut Propinsi Riau
Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus
menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana
proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan
suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan
melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis
dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses
universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada
tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif
dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam
pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998)
menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan
berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi,
agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan
stabilisasi. Whittaker (1970)
menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi
berlangsung adalah sebagai berikut :
(1) Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah
(2) Terjadinya peningkatan dalam tinggi,
kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat
(4)
Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat
suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi
(5) Populasi
meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai
tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang
berumur panjang.
(6) Kestabilan
relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi
secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir
biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta
komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
(1) Tersedia
kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya
benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi
tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
(2) Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
(3) Modifikasi
lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada
habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai
memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari
perkembangan. Komunitas hutan adalah
suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas
hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh
tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap
tempat tumbuh dan stabilisasi.
Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat.
Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat.
Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya
persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat
di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis Yang toleran. Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et
al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi 80 tahun. Jika hutan hujan mengalami
kerusakan±sekunder
akan terbentuk oleh alam atau manusia
(perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya
dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara dan
Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita
kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda,
dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur
akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada
awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970).
Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua
dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan
faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil,
keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung
untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan
akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan
dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan
Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak
mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan
tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan
sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang
mempengaruhi perubahan vegetasi. Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan
pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan
faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak
mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan. Goodland dan
Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi
dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini
terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi
lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan
pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca
adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari
kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan
distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju
pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah
keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari
hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu
contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah
rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di
daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak
jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada
tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan
primer, peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan
pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer.
Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH
bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar kation pada lapisan top soil
tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat
peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak
ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim
kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi
proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini,
beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya.
Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang
stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Di samping perbedaan yang
disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi
tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu
rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi
perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis.
Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami,
yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan,
dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi
sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai,
pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5
meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm,
dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat
Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat
tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap
memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal
ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur
dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat
tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan
indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak
arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan
tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia.
Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya,
yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus;
sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung
mengarah ke “ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang
terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata
disamping periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis,
persentase kematian akibat “inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan “survive” (Fox, 1976).
persentase kematian akibat “inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan “survive” (Fox, 1976).
Pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat, akan diikuti oleh pembelukaran
bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang mengakbatkan adanya
perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980;
Kellman, 1970). Keadaan lingkungan yang berubah segera setelah penebangan yaitu,
kelembaban, angin, intensitas cahaya adalah akibat “buffer effect” dari belukar
tersebut. Akibatnya adalah pada saat “buffer effect” ini mencapai maksimum
pertumbuhan, semai kayu berharga mencapai kondisi optimum.
Sehubungan dengan ini Marsono (1980) telah mencoba menghubungkan pola
pertumbuhan semai jenis Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan
sesudah penebangan. Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor
lingkungan yang kompleks. Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan
kelembaban sajalah yang menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti
Nitrogen, Phosfor tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang
menentukan (tidak signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang
sama.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Kartawinata (1975,
1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan bahwa suhu dan kelembaban yang
memadai sangat menentukan pertumbuhan semai Dipetrocarpaceae. Sementara itu
Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga bahwa sesudah 5 tahun tebangan
terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang cukup yaitu 5000-30.000 per hektar.
Demikian juga Blanche (1975) melaporkan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak
berlebihan jumlah semai Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan
asli.
Menurut Marsono et al., (1980) bahwa sekitar 4 sampai dengan 5 tahun
sesudah tebangan jumlah semai jenis Dipterocarpaceae mencapai keadaan yang
optimal. Oleh karena itu untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga
dan seterusnya waktu itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya
dilakukan inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun
berikutnya jumlah semai kayu berharga cendrung menurun. Maka sesudah itu (4
sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia
berupa tindakan silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari
persaingan dan menutupnya kembali tajuk. Tindakan yang dapat dilakukan adalah
mengurangi persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”. Kalaupun setelah
inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya
dapat dikerjakan.
Selanjutnya Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa jenis-jenis
Dipetrocarpaceae yang suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang tidak
terlalu berat. Akibat adanya
penebangan yang relatif tidak membuka tajuk terlalu berat, pertumbuhannya
terstimulir. Namun beberapa tahun kemudian kompetisi
yang makin besar dan menutupnya
kembali tajuk menyebabkan posisi jenis Dipterocarpaceae mulai menurun.Sastrosumarto
et al., (1979) dan Marsono et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya
melaporkan bahwa riap tinggi semai jenis-jenis berharga cendrung menurun
dibanding dengan jenis lain-lain dengan menutupnya tajuk dan persaingan yang
semakin berat.Sementara itu jenis-jenis lain mulai menunjukan pertumbuhan yang
lebih baik.
Marsono dan Sastrosumarto (1980) telah melaporkan hasil penelitiannya di
Stagen untuk tingkat pancang dengan ukuran indeks nilai penting yang merupakan
kehadiran relatif (relative density), ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun
jenis Dipetreocarpaceae lebih mendominasi tingkat pancang. Perkembangan
selanjutnya ternyata berubah, dengan adanya perubahan/penutupan tajuk. Tajuk
berkembang dan mulai menutup sehingga intensitas cahaya berkurang. Jenis Dipterocarpaceae
yang suka cahaya terangsang sehingga dominasi berubah. Kenyataan ini memberikan
petunjuk bahwa jenis Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak
terlalu tinggi, tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian
penebangan dan penyaradan akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis
Dipterocarpaceae yang suka cahaya, seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra.
BAB 2
KOMPONEN-KOMPONEN EKOSISTEM
HUTAN RAWA GAMBUT
2.1 Komponen Abiotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Abiotik adalah bukan makhluk hidup atau komponen tak hidup. Kompnen
abiotik merupakan komponen fisik dan kimia yang membentuk lingkungan abiotik .
lingkungan abiotik membentuk ciri fisik dan kimia temepat hidup makhluk hidup
contoh kompnen abiotik antara lain suhu, cahaya, air, kelembapan, udara,
garam-garam mineral dan tanah. Komponen ini tidak berdiri sendiri, tetapi
saling berinteraksi sehingga mempengaruhi sifat yang satu dengan sifat yang
lain (Aryulina, 2007).
Untuk komponen
abiotik terdiri atas:
1) Lapisan Humus, adalah lapiasan
teratas dari tanah. Merupakan lapisan tanah
yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
2) Serasah adalah
tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi
lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi)
berubah menjadi humus
(bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah,
yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk
terutama para dekomposer. Berbagai jenis
kumbang
tanah, lipan,
kaki seribu,
cacing tanah,
kapang
dan jamur
serta bakteri
bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk,
sehingga menjadi unsur-unsur
yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya.
3) Suhu, Menurut
Kartasapoetra, (1987) Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang
dapat diukur berdasarkan skala tertentu dengan manggunakan berbagai
thermometer. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu dimuka bumi dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a)
Jumlah radiasi yang diterima pertahun-perhari-permusim.
b)
Pengaruh daratan atau lautan
c)
Pengaruh ketinggian tempat
d)
Pengaruh angin secara tak langsung, misalnya angin yang
membawa panas dari sumbernya secara horizontal
e)
Pengaruh panas laten, panas yang disimpan dalam
atmosfer
f)
Penutup tanah, tanah yang ditutup vegetasi mempunyai
temperatur < dari pada tanah tanpa vegetasi
g)
Pengaruh sudut dating
sinar matahari, sinar yang vertikal akan membuat suhu > dari pada
yang datangnya miring,
h)
Tipe tanah, tanah-tanah indeks suhunya lebih tinggi.
4)
Kelambapan adalah banyaknya kadar uap air yang ada di
udara, dalam hal ini kita mengenal beberapa istilah, anatara lain:
a)
Kelembapan mutlak adalah massa uap air yang berada
dalam satusatuan udara yang dinyatakan dalam gr/ m3
b)
Kelembapan spesifik, merupakan perbandingan uap air di
udara dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gr/ kg
c)
Kelambapan relative, merupakan perbandingan jumlah uap
air diudara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung secara tertentu yang
dinyatakan dalam persen (%). Angka kelembapan
relatif: 0 – 100%, 0% berarti udara kering, 100% artinya udara jenuh
dengan uap air yang artinya akan terjadi titik air hujan (Kartasapoetra, 2000).
5)
Asal kata “air” tidak diketahui secara jelas, sehingga
banyak pengertian dari air yang dikemukan oleh para ahli, diantaranya yaitu
Menurut Jumin (1987) Air merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan tanaman.
Kekurangan air mengakibatkan terganggunya perkembangan morfologi dan proses
fisiologis tanaman. Masalah kekurangan air timbul akibatnya siklus hidrologi di
alam tidak merata. Sebagai tindak lanjutnya lahir pemikiran untuk memenuhi
kekurangan air yang sering terjadi. Salah –satu ilmu yang mengkaji dan membahas
tentang maslah air bagi pertanian adalah ilmu irigasi. Sedangkan menurut
Dwidjoseputro (1986) air adalah bahan yang paling banyak didalam sel-sel yang
hidup dan air merupakan suatu pelarut yang baik, maka air yang ada dalam
sel-sel itu tidak pernah berupa air murni melainkan selalu mengandung zat-zat
yang larut, air juga mengandung partikel-partikel bebas yang tidak mungking
larut didalamnya.
6)
Cahaya itu terdiri atas partikel-partikel kecil yang
disebut foton dan foton ini mempunyai sifat-sifat materi dan gelombang. Foton
juga memiliki energi yang dinyatakan dengan kuantum. Berapa banyak energi yang
dimiliki oleh cahaya itu tergantung kepada panjang-pendeknya gelombang. Sinar ungu yang lebih pendek gelombangnya
dari pada sinar merah, mempunyai kuantum lebih banyak daripada sinar merah
(Dwidjoseputro, 1986).
7)
Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama
dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional, dan local.
Sedangkan iklm mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas
tertentu (Sumber: http//id.wikipedia.org/wiki/ekosistem).
1.2
Komponen Biotik Ekosistem
Hutan Rawa Gambut
Menurut Istomo (2004) Beberapa jenis tanaman khas rawa gambut adalah:
1)
Tumih (Combretocarpus ratundus)
2)
Mahang (Macaranga spp.)
3)
Pulai (Alstonia pneumatophora)
4)
Milas (Parastemon urophyllum)
5)
Balam-suntai (Palaquium spp.)
6)
Terentang (Camnosperma coreaceum)
7)
Geronggang (Cratoxylon arborencens)
8)
Simpur (Dillenia excelsa)
9)
Jelutung (Dyera lowii)
10) Gelam
(Melaleuca cajuputi)
11) Ramin
(Gonystylus bancanus)
12) Meranti
batu (Shorea uliginosa)
Menurut Elfis (2010),
beberapa jenis tanaman tingkat pohon dan tiang yang ditemukan pada Ekosistem
Hutan Rawa Gambut di Lintas Bono Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan
antara lain:
No
|
Nama Lokal
|
Nama Ilmiah
|
Famili
|
1
|
Ambacang
|
Mangifera foetida Laur.
|
Anacardiaceae
|
2
|
Arang-Arang Malam
|
Diospyros malaccensis Bakh.
|
Ebenaceae
|
3
|
Arang-Arang
|
Diospyros puncticulosa Bakh.
|
Ebenaceae
|
4
|
Bengku
|
Ganua motleyana Pierre.
|
Sapotaceae
|
5
|
Bintangur
|
Calophyllum inophylide King.
|
Guttiferae
|
6
|
Darah-Darah
|
Horsfieldia irya Warb.
|
Myristicaceae
|
7
|
Durian Burung
|
Durio carinatus Mast.
|
Bombaceae
|
8
|
Geronggang
|
Cratoxylon arborescens Bl.
|
Guttiferae
|
9
|
Jangkang
|
Xylopia malayana Hk.f.et.Th.
|
Annonaceae
|
10
|
Kelokak
|
Melannorhoe sp.
|
Anacardiaceae
|
11
|
Kelat
|
Eugenia sp.
|
Myrtaceae
|
12
|
Kempas
|
Koompassia malaccensis Maing.
|
Caesalpinaceae
|
13
|
Keruing
|
Dipterocarpus apendiculatus Scheff.
|
Dipterocarpaceae
|
14
|
Keranji Hutan
|
Dialium maingayi Bakh.
|
Caesalpinaceae
|
15
|
Kerbau Jalang
|
Melannorhoe aptera King.
|
Anacardiaceae
|
16
|
Mendarahan
|
Myristica sp.
|
Myristicaceae
|
17
|
Mangga Hutan
|
Mangifera foetida Lour.
|
Anacardiaceae
|
18
|
Manggis-Manggis
|
Garcinia sp.
|
Guttiferae
|
19
|
Medang Lundu
|
Lindera sumbubelliflora Bl.
|
Lauraceae
|
20
|
Medang Pergai
|
Ostodes paniculata Bl.
|
Lauraceae
|
21
|
Medang Tingkat
|
Actinodaphne glabra Bl.
|
Lauraceae
|
22
|
Meranti Bunga
|
Shorea teysmannia Dyer.
|
Dipterocarpaceae
|
23
|
Meranti Bakau
|
Shorea uliginosa Foxw.
|
Dipterocarpaceae
|
24
|
Meranti Rawah
|
Shorea parvifolia Dyer.
|
Dipterocarpaceae
|
25
|
Meranti Burung
|
Shorea acuminta Dyer.
|
Dipterocarpaceae
|
26
|
Mersawa Paya
|
Anisoptera margarita Korth.
|
Dipterocarpaceae
|
27
|
Mersawa Kuning
|
Anisoptera curtisii Dyer.
|
Dipterocarpaceae
|
28
|
Medang
|
Litsea sp.
|
Lauraceae
|
29
|
Nyatoh
|
Palaquium sumatranum Buck.
|
Sapotaceae
|
30
|
Pulai
|
Alstonia pneumatophora Buck.
|
Apocynaceae
|
31
|
Pisang-Pisang
|
Kandelia condel Druce.
|
Rhizophoraceae
|
32
|
Parak-Parak
|
Amoora rubiginosa Hiern.
|
Meliaceae
|
33
|
Pasir-Pasir
|
Urandra scorpiodes Pulle.
|
Icaceae
|
34
|
Perapat
|
Combretocarpus rotundatus Dans.
|
Bombaceae
|
35
|
Punak
|
Tetrameristra glabra Miq.
|
Theaceae
|
36
|
Punggai
|
Coelostegia griffithii Benth.
|
Bombaceae
|
37
|
Lamin
|
Gonystilus bancanus Kurz.
|
Thymelaceae
|
38
|
Balau Hitam
|
Shorea atrinervosa Symington.
|
Dipterocarpaceae
|
39
|
Rengas
|
Gluta renghas L.
|
Anacardiaceae
|
40
|
Resak
|
Vatica wallichii Dyer.
|
Dipterocarpaceae
|
41
|
Simpur
|
Dillenia excelsa Gilg.
|
Dilleniaceae
|
42
|
Suntai
|
Palaqium burkii H.J.L.
|
Sapotaceae
|
43
|
Terentang Manuk
|
Comnosperma auriculata Hook.f
|
Anacardiaceae
|
44
|
Terantang
|
Comnosperma macrophyla Hook.f
|
Anacardiaceae
|
45
|
Trembasa
|
Fragraec fragrans Roxb.
|
Loganiaceae
|
46
|
Trenggayun
|
Paratocarpus triandus J.J.S.
|
Moraceae
|
Sedangkan hewan
yang terdapat pada ekosistem hutan rawa gambut antara lain:
1.
|
Burung
RajaUdang
|
7.
|
Ikan
Puyu
|
2.
|
Monyet
|
8.
|
Ikan
Lele
|
3.
|
Ular
|
9.
|
Ikan
Gabus
|
4.
|
Udang
|
10.
|
Zooplankton
|
5.
|
Biawak
|
11.
|
capung
|
6.
|
Ikan
Sepat
|
|
|
2.2.1 Lahan Gambut
sebagai Lahan Pertanian
1) Tanaman
Lahan yang belum dibuka, seperti:
a)
Mahang (Macaranga javanica)
b)
Kincong
Gambar 5. Kincong (Sumber: Arsip Biologi
6D, 2014)
|
c)
Paku keras
Gambar 6. Paku Keras (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)
|
Lahan yang sudah dibuka,
seperti:
a)
Nenas (Ananas comosus)
b) Ubi kayu (Manihot utilisima)
c) Labu (Cucurbita spp)
e) Jagung (Zea mays)
2) Hewan
a) Monyet
b) Kera
c) Jangkrik
d) Burung
e) Rusa
f) Babi
g) Kancil
2.2.2 Lahan Gambut sebagai Hutan Tanaman Industri
1)
Tanaman
a) Akasia (Cassia sp)
a)
Gambar 7.
Akasia (Cassia sp) (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)
|
b) Paku-Pakuan Keras
Gambar 8: Paku-pakuan Keras(Sumber: Arsip
Biologi 6D, 2011)
|
2)
Hewan
a) Serangga
b) Burung
BAB 3
POLA INTERAKSI EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT
3.1 Pola interaksi biotik pada ekosistem hutan
rawa gambut
Pola-Pola Interaksi Biotik pada Ekosistem
Rawa Gambut
Simbiosis ialah bentuk interaksi yang
erat dan khusus antara dua makhluk hidup yang berlainan jenis. Makhluk
hidup yang melakukan simbiotik disebut
simbion. Simbiosis parasitisme, yaitu interaksi dua individu atau populasi
dinama salah satu individu untung, sedangkan simbion pasangannya rugi.
1)
Gambut Dalam
a)
Burung Raja Udang dan Ikan
Dimana burung raja udang yang hidup di ekosistem darat
memakan ikan yang ada di ekosistem perairan, seperti ikan-ikan kecil.
b)
Ikan- Ikan Kecil dan Fitoplankton/Zooplankton
Fitoplankton adalah
makan dari ikan-ikan kecil, dimana ikan-ikan kecil akan memakan
fitoplankton/zooplankton yang melayang atau berada di dasar perairan guna
memenuhi nutrisi untuk tubuhnya.
c)
Dekomposer (pengurai)
Merupakan organisme yang menguraikan sisa
organisme untuk memperoleh makanan atau bahan organik yang diperlukan.
Penguraian memungkinkan zat-zat organik yang kompleks terurai menjadi zat-zat
yang lebih sederhana. Kemudian dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen.
Organisme yang termasuk dekomposer adalah bakteri dan jamur (Aryulina, 2007).
2)
Gambut Dangkal
a)
Ubi dan Babi
Di lahan gambut telah
dibuka dan yang sudah dialih fungsikan menjadi lahan pertanian ditanami ubi,
tanaman ubi tersebut di makan oleh babi yang datang dari hutan gambut. Ubi yang terserang babi menjadi rusak karena dalam
usahanya untuk memakan umbi tersebut, mereka mengijak-ngijak tanaman ubi
tersebut.
b)
Pisang dan Monyet
Monyet adalah hewan
yang suka memakan pisang, sehingga di ekosistem ini terjadi simbiosis antara
monyet dan pisang yang ditanam oleh petani.
c)
Dekomposer (pengurai)
Merupakan organisme yang menguraikan
sisa organisme untuk memperoleh makanan atau bahan organik yang diperlukan.
Penguraian memungkinkan zat-zat organik yang kompleks terurai menjadi zat-zat
yang lebih sederhana. Kemudian dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen.
Organisme yang termasuk dekomposer adalah bakteri dan jamur (Aryulina, 2007).
3)
Hutan Tanaman Industri (HTI)
a)
Burung dan Serangga
Serangga yang hidup di
dasar tanah dan di batang pohon dimakan oleh serangga pemakan serangga.
3.2 Pola
Rantai Makanan, Jaring-Jaring Makanan, Piramida Biomassa, Piramida Makanan pada
Ekosistem Hutan Rawa Gambut
3.2.1. Rantai Makanan
Tumbuhan dan binatang dalam sebuah
ekosistem terhubung melalui hubungan makanan. Tanaman berfungsi sebagai
produsen dengan menggunakan energi matahari
untuk menghasilkan makanan yang bisa dimakan binatang. Energi yang disimpan
dalam dalam tumbuhan sebagai makanan diteruskan keseluruh langsung kekonsumen
primer (tingkat pertama) yaitu bnatang-binatang yang memakan tumbuhan dan
secara tidak langsung menjadi konsuem sekunder (tingkat kedua),
binatang-binatang lain yang memakan konsumen sekunder di sebut konsumen tersier
(tingkat ketiga).
Rantai
makanan yang terjadi pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut adalah sebagai berikut :
Gambar 9: Rantai Makanan
Pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut Dalam (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014).
|
Setiap rantai makanan mengandung
dekomposer (pengurai). Para pengurai ini meliputi bakteri, jamur, dan beberapa
jenis serangga yang mengurai materi tumbuhan dan hewan yangmati menjadi mineral
dan humus dalam tanah. Dalam proses ini, pengurai mendapatkan energy untuk
hidup dari makanan yang diurainya.
Ganbar 10. Rantai Makanan
Pada Ekosistem Rawa Gambut Dangkal (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014).
|
3.2.2
Jaring-Jaring
Makanan
Setiap ekosistem mepunyai banyak rantai
makanan yang saling terhubung membentuk jarring makanan yang lebih rumit. Hal
ini di karenakan binatang sering kali memakan beragam makanansehingga memainkan
peranan yang berbeda dalamsejumlah rantai makanan. Binatang dari satu rantai
makanan memakan tumbuhan dan binatang dari rantai makanan yang lain. Dengan
cara ini, semua mahluk hidup di bumi saling terhubung dalam satu jaringan yang
luas dan berkelanjutan.
Ular
|
Biawak
|
Manusia
|
Ikan besar
|
Ikan kecil
|
Ikan kecil
|
Udang-udangan
|
fitoplankton
|
zooplankton
|
alga
|
Gambar 11: Jaring-jaring Makanan Ekosistem
Rawa Gambut Dalam di Perairan (Sumber:
Arsip Biologi 6D,
2014)
Tumbuhan
|
Burung
|
Burung
|
Ular
|
manusia
|
Tumbuhan
|
Monyet
|
Gambar 12: Jaring-jaring Makanan Ekosistem
Rawa Gambut Dalam di Darat (Sumber:
Arsip Biologi 6D,
2014)
3.2.3
Piramida
Biomassa
Seringkali piramida jumlah yang
sederhana kurang membantu dalam memperagakan aliran energi dalam ekosistem.
Penggambaran yang lebih realistik dapat disajikan dengan piramida biomassa.
Biomassa adalah ukuran berat materi hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur
biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-rata berat organisme di tiap tingkat
harus diukur kemudian barulah jumlah organisme di tiap tingkat diperkirakan.
Piramida
biomassa berfungsi menggambarkan perpaduan massa seluruh organisme di habitat
tertentu, dan diukur dalam gram. Untuk menghindari kerusakan habitat maka
biasanya hanya diambil sedikit sampel dan diukur, kemudian total seluruh
biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti ini akan didapat informasi yang
lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem. Pada
piramida energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang tersedia
di tiap tingkat trofik. Berkurang-nya energi yang terjadi di setiap trofik
terjadi karena hal-hal berikut. Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap
dan dimakan oleh tingkat trofik selanjutnya. Beberapa makanan yang dimakan
tidak bisa dicemakan dan dikeluarkan
sebagai sampah. Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari tubuh organisms, sedangkan sisanya digunakan
sebagai sumber energi (Elfis, 2010).
3.3 Aliran Energi dan Siklus Materi Ekosistem
Rawa Gambut
Aliran energi merupakan rangkaian urutan
pemindahan bentuk energi satu ke bentuk energi yang lain dimulai dari sinar
matahari lalu ke produsen, konsumen, sampai ke pengurai di dalam tanah.
Organisme memerlukan energi untuk mendukung kelangsungan hidupnya, antara lain
untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, bergerak, dan
metabolisme yang ada dalam tubuh (http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi-dalam.html)
Energi dapat diartikan sebagai kemampuan kerja. Energi diperoleh organisme
dari makanan yang dikonsumsinya.
Cahaya matahari merupakan sumber energi utama kehidupan. Tumbuhan
berklorofil memanfaatkan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Organisme yang menggunakan
cahaya untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik disebut
organisme fotoautotrof. Organisme yang menggunakan energi yang didapat dari reaksi kimia untuk membuat
makanan disebut organisme
kemoautotrof.
BAB IV
SUKSESI
VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat
dinamis dalam interaksinya yangberarti dalam ekosistem mengalami
perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan
keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi.
Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan
fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah
komunitas atau ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis).
Di alam ini terdapat dua macam suksesi, yaitu suksesi
primer dan suksesi sekunder.
4.1. Suksesi primer
Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu.
Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total
sehingga di tempat komunitas asal terbentuk habitat baru. Gangguan ini dapat
terjadi secara alami, misalnya tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan
Lumpur yang baru di muara sungai, dan endapan pasir di pantai. Gangguan dapat
pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak
bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung
Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883.
Di daerah bekas
letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken)
serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan.
Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan,
sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan
mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian
bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks
susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat
tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan
dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan
menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya.
Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat
terns mengadakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur
sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan semak
menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan semak
menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga terbentuklah
hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau dikatakan
ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil sehingga
tidak banyak mengubah ekosistem itu.
4.2 Suksesi Sekunder
Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami
gangguan, balk secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak
total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama
dan kehidupan masih ada. Contohnya, gangguan alami misalnya banjir, gelombang
taut, kebakaran, angin kencang, dan gangguan buatan seperti penebangan hutan
dan pembakaran padang rumput dengan sengaja.
Spurr
(1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus
yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini
terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu
proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan
melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis
dominan yang berbeda.
Shukla
dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang
kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks.
Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan
adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan
tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa
proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui
beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan
penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Whittaker (1970) menyatakan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah
sebagai berikut :
(1) Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti
meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan
meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
(2) Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan
perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur
komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
(4) Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang
sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
(5) Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh
populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur
pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
(6) Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal
komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi
lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh
tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak
banyak berubah.
Ewusie
(1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam
terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
(1) Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan
(invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan
faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada
setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
(2) Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di
lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai
hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap
lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk
perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai
tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum
selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa.
tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi.
Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit
pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
(3) Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang
akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh,
komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat
pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas
hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis.
Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi
oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi
terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere
(Soerianegara dan Indrawan, 1998). Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah
adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya)
bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973),
menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan
mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana
masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952)
menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan
meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon
tersebut.
Pembentukan
suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat. Karena
dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar
setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar
tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran.
Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature
forest” pada suksesi 80 tahun.
Jika
hutan hujan mengalami±sekunder akan terbentuk
kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka
suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau
semak.Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan
tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun
akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder
tua Yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman
jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke
komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis
cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas
yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur
keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih
besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat
permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada
tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman
(1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara
tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina.
Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah,
oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting
dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan
temperatur udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi.
Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang,
mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya
suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya
Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh
yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan. Goodland dan Pollard (1973)
memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P
dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan
dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan
tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi
peningkatan kadar N, P dan K.
Webb
(1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah
unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan
tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari
tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari
unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur
hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan
pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang
ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah rendahnya
produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di daerah
tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards
(1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda
dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah
yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan primer,
peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada
tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer.
Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH
bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar kation pada lapisan top soil
tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat
peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh.
Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell
(1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang
periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini
sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa
struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses
tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil
yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap.
Di
samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari
variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut
ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih
banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis.
Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni
tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan
yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan.
Berdasarkan
ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder
alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang
tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter
dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10
– 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun
pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan
penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan
penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain
karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari
jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh
setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator
keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah
pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox
(1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan tropika basah
adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia. Faktor biologis
terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya, yaitu komposisi
jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus; sebaran jenis
Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung mengarah ke
“ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang terbentuk
kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping
periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis, persentase kematian akibat “inter/intra
specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya
penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan
“survive” (Fox, 1976). Pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat, akan diikuti
oleh pembelukaran bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang mengakbatkan adanya
perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980;
Kellman, 1970).
Keadaan
lingkungan yang berubah segera setelah penebangan yaitu, kelembaban, angin,
intensitas cahaya adalah akibat “buffer effect” dari belukar tersebut.
Akibatnya adalah pada saat “buffer effect” ini mencapai maksimum pertumbuhan,
semai kayu berharga mencapai kondisi optimum. Sehubungan dengan ini Marsono
(1980) telah mencoba menghubungkan pola pertumbuhan semai jenis
Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan sesudah penebangan.
Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor lingkungan yang kompleks.
Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang
menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti Nitrogen, Phosfor
tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang menentukan (tidak
signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang sama.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan
penelitian Kartawinata (1975, 1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan bahwa
suhu dan kelembaban yang memadai sangat menentukan pertumbuhan semai
Dipetrocarpaceae. Sementara itu Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga
bahwa sesudah 5 tahun tebangan terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang
cukup yaitu 5000-30.000 per hektar. Demikian juga Blanche (1975) melaporkan
bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak berlebihan jumlah semai
Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan asli. Menurut Marsono et al., (1980) bahwa sekitar
4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan jumlah semai jenis Dipterocarpaceae
mencapai keadaan yang optimal.
Oleh
karena itu untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga dan seterusnya
waktu itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya dilakukan
inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun berikutnya jumlah
semai kayu berharga cendrung menurun. Maka sesudah itu (4 sampai dengan 5 tahun
sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia berupa tindakan
silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari persaingan dan
menutupnya kembali tajuk. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi
persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”. Kalaupun setelah
inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya
dapat dikerjakan.
Selanjutnya
Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa jenis-jenis Dipetrocarpaceae yang
suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat. Akibat adanya
penebangan yang relatif tidak membuka tajuk terlalu berat, pertumbuhannya
terstimulir. Namun beberapa tahun kemudian kompetisi yang makin besar dan
menutupnya kembali tajuk menyebabkan posisi jenis Dipterocarpaceae mulai menurun.
Sastrosumarto
et al., (1979) dan Marsono et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya
melaporkan bahwa tiap tinggi semai jenis-jenis berharga cendrung menurun
dibanding dengan jenis lain-lain dengan menutupnya tajuk dan persaingan yang
semakin berat. Sementara itu jenis-jenis lain mulai menunjukan pertumbuhan yang
lebih baik.
Marsono
dan Sastrosumarto (1980) telah melaporkan hasil penelitiannya di Stagen untuk
tingkat pancang dengan ukuran indeks nilai penting yang merupakan kehadiran
relatif (relative density), ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun jenis
Dipetreocarpaceae lebih mendominasi tingkat pancang. Perkembangan selanjutnya
ternyata berubah, dengan adanya perubahan/penutupan tajuk. Tajuk berkembang dan
mulai menutup sehingga intensitas cahaya berkurang. Jenis Dipterocarpaceae yang
suka cahaya terangsang sehingga dominasi berubah. Kenyataan ini memberikan
petunjuk bahwa jenis Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak
terlalu tinggi, tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian
penebangan dan penyaradan akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis
Dipterocarpaceae yang suka cahaya, seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra.
Selanjutnya
Marsono (1980) melaporkan bahwa beberapa jenis Dipterocarpaceae yang suka
cahaya tersebut berasosiasi positif dengan tanaman suka cahaya Macaranga sp.
Ternyata situasi seperti ini hampir merata untuk beberapa HPH di Kalimantan
Timur.
Berdasarkan
data hasil penelitian Marsono et al., (1980) bahwa beberapa HPH mempunyai
persediaan (stocking) pancang jenis-jenis niagawi yang cukup. Marsono et al.,
(1980) menduga bahwa hal ini disebabkan karena pengamatan mulai dilakukan pada
waktu HPH tersebut masih menggunakan highlead untuk penarikan kayu sehingga
banyak pohon dan anak pohon yang rusak. Tajuk terbuka berlebihan sehingga
menyulitkan jenis ekspor terutama Dipterocarpaceae untuk tumbuh. Akan tetapi
kalau jenis niagawi lokal dapat diterima sebagai jenis berharga, persediaan
jenis gabungan ini (ekspor + niagawi) telah melampaui standar yang telah ditetapkan.
Kenyataan di atas dijumpai pada sekitar 5 sampai dengan 6 tahun sesudah
tebangan. Tahun-tahun berikutnya pertumbuhan tajuk begitu cepat demikian juga
“nomad species” tumbuh lebih pesat, sehingga intensitas cahaya yang masuk lebih
sedikit. Akibatnya dominasi sapihan Dipterocarpaceae menurun karena harus
bersaing dengan keras dengan jenis “light loving plant” tersebut.
Dalam
hal ini Marsono et al., (1980) menekankan pentingnya pemeliharaan dalam bentuk
“timber stand improvement” pada saat yang tepat. Diharapkan dengan usaha
tersebut jenis Dipterocarpaceae dapat mempertahankan eksistensinya dan hutan
akan mengarah pada komposisi yang lebih sederhana yaitu didukung terutama oleh
Dipterocarpaceae yang termasuk “light demanding species” . Pengalaman di Stagen
(Marsono, et al., 1980) menunjukan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak
terlalu kuat, masuknya cahaya yang tidak terlalu tinggi intensitasnya
merangsang pancang jenis Dipterocarpaceae dengan indeks nilai penting 19,17 ;
48,99 dan 42,59 berturut-turut pada hutan sebelum ditebang 4 tahun dan 6 tahun
sesudah tebangan.
Untuk
memperoleh gambaran suksesi alami tingkat tiang yang ada di lapangan, Soemarna
dan Supriadi (1977) telah melakukan inventarisasi suksesi alami pada areal
bekas tebangan yang telah berumur 3 – 5 tahun, di Kesatuan Usaha PT. Inhutani
II Stagen Kalimantan Selatan. Hasilnya menunjukan bahwa jumlah suksesi alami
tingkat tiang dari jenis niagawi adalah 373, 9 pohon tiap hektar, sementara
jumlah pancangnya adalah 238, 4 pohon tiap hektar. Akan tetapi pada areal bekas
tebangan berumur 3 sampai dengan 5 tahun yang terdapat di Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Sanggau di Kalimantan Barat, Siswanto dan Soemarna (1986) menemukan
tingkat tiang dari jenis niagawi hanya sebanyak 78,7 pohon pada tiap hektar.
Untuk daerah Semanggis di KPH Palembang, Soemarna (1978) melaporkan bahwa
terdapat tiang dari jenis niagawi sebanyak 245,5 pohon tiap hektar.
Keadaan
yang sama dengan Stagen dan Semanggis juga dilaporkan oleh Soemarna dan Suyana
(1977) di Suban Burung KPH Palembang, Soemarna dan Suyana (1979) di KPH
Ketapang Kalimantan Barat, serta Soemarna dan Suyana (1979) untuk kelompok
hutan Sungai Tualan KPH Kota Waringin Timur di Kalimantan Tengah.
BAB V
PERUBAHAN EKOSISTEM RAWA GAMBUT JIKA TERJADI GANGGUAN
5.1. Ekosistem Rawa Gambut
Ekosistem dan lingkungan merupakan dua
hal yang tidak terpisahkan. Dalam pembahasan mengenai ekosistem, lingkungan
juga akan menjadi objek pembahasan. Secara fisik, lingkungan berarti wadah atau
tempat berlangsungnya suatu sistem kehidupan organisme atau suatu komunitas.
Kondisi lingkungan akan berubah jika terjadi perubahan di dalam ekosistem atau
sebaliknya; masing masing saling
mempengaruhi dalam suatu keseimbangan yang dinamis dan merupakan satu kesatuan
fungsional (Pratiwi, 2006).
Dengan demikian, ekosistem meliputi
seluruh mahluk hidup dan lingkungan fisik yang mengelilinginya, dan merupakan
suatu unit yang mencakup semua mahluk hidup dalam suatu area yang memungkinkan
terjadinya interaksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat abiotik maupun
biotik.
5.2 Kerusakan Hutan Rawa Gambut
Kerusakan Hutan Rawa Gambut saat ini disebabkan oleh:
1. Tidak
memperhatikan karakteristik Ekosistem
2. Over
Eksploitasi
3. Pembakaran
4. Konversi
Untuk memperbaiki kerusakan tersebut perlu dilakukan tindakan secara
silvikultur yang baik. Sistem Silvikultur 1. Pemilihan Jenis Tanaman Pemilihan
jenis tanaman merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan
hutan rawa gambut, karena pertumbuhan jenis tanaman sanagt tergantung dengan
kondisi tapaknya, jika tanaman sesuai dengan kondisi tapak dan iklim mendukung
maka upaya pengelolaan lebih efisien dan efektif
Gambar 13: Bagan Pengaruh
Berkurangnya Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)
|
Jika kita lihat dari segi tujuan perlindungan, pola pembuatan tanaman
secara campur (mix-forest) akan lebih menguntungkan, dengan penanaman hutan
secara campur tersebut, akmulasi serasah sebagai salah satu penunjang kebakaran
hutan dapat diperkecil dengan catatan seperti curah hujan, suhu dan organisme
renik cukup mendukungnya (Sumardi dan Widyastuti, 2002).
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan
menjadi:
(1) Gambut
kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar;
(2) Gambut
sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan
(3) Gambut halus (Saprist) jika bahan organik
kasar kurang dari 1/3.
Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi,
daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit
tersedia bagi tanaman, draenase merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan
sifat fisik, Untuk perbaikan sifat biologi tanah yang lebih baik, saat ini
dilakukan dengan inokulasi mikroba pelapuk yang dapat merombak bahan organik
dengan cepat, seperti jenis penicilium,micoriza dan rhizhobium dan Pseudomonas.
Bakteri-bakteri tersebut juga dapat menambat unsur-unsur sehingga dapat
memperbaiki kondisi kimia tanah.
Gambar 14: Erosi Tanah (Sumber: Arsip
Biologi 6D, 2014)
|