Sabtu, 05 Juli 2014

makalah ekosistem hutan rawa gambut



BAB I
EKOSISTEM  HUTAN RAWA GAMBUT

1.    Defenisi Ekosistem
Istilah ekosistem pertama kali diusulkan seseorang ahli ekologi berkebangsaan inggris bernama A.G. Tranley pada tahun 1935, meskipun tentu saja konsep itu sama sekali bukan merupakan konsep yang baru. Terbukti bahwa sebelum akhir tahun 1800-an, pertanyaan-pertanyaan resmi tentang istilah dan konsep yang berkaitan dengan ekosistem mulai terbitcukup menari dalam literatur-literatur ekologi diAmerika, Eropa, dan Rusia. Ekosistem adalah unit fungsional dasar dalam ekologi yang didalamnya tercakup organisme dan lingkunganya (Odum dalam Elfis,2006)
 Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada (Gumilar, 2010).
Ekosistem  juga merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Dibumi ada bermacam-macam ekosistem. Secara singkat ekosistem berarti sistem yang berlangsung dalam suatu Lingkungan. Di dalam lingkungan terdapat komponen-komponen, baik komponen fisik (benda hidup/biotik dan benda mati/abiotik) maupun komponen non fisik berupa hubungan manfaat suatu benda terhadap benda lainnya (trofik). Di dalam lingkungan juga terjadi suatu fenomena dinamika yang menyangkut hubungan interaksi antar kelompok fisik, atau dapat dikatakan bahwa di dalam lingkungan tersebut terjadi suatu sistem yang dinamis (Gumilar, 2010).
Unit ekologis adalah ekosistem, yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas beragam populasi yang berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Daerah tersebut ( habitat), bisa jadi hanya sekecil kolam local ataupun seluas gurun sahara,  Berbagai populasi yang berinteraksi. Setiap ekosistem dalam suatu wilayah selalu mengalami perkembangan menuju ke arah keseimbangan.
Perkembangan ekosistem tersebut tergantung dari pola perkembangan komunitas yang ada di dalamnya. Secara umum perkembangan ekosistem yang dikenal dengan suksesi ekologi ini, melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere. Setiap sere memberikan ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis dominan yang ada dan faktor pembatas fisiknya (Gumilar, 2010)

2.    Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan ­bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu terjadi pada hutan­-hutan yang pohonnya tumbang dan tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai pelaku pembusukan tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahon-bahan organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan (akar, batang, cabang, ranting, daun, dan lainnya) dan mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian dalam yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu potongan-potongan kayu besar maupun sisa-sisa tumbuhan lainnya.
Berikut adalah bagan terbentuknya hutan gambut:
Gambar 1. Bagan pembentukan Hutan Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D
2014).

 












  




Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
     
    
Gambar 2 : Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)

Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol(Suhardjo, 1983).
Endapan gambut dataran rendah (low and peat) di indonesia telah dikenal sangat luas sebarannya sesuai dengan dataran rendah pantai,tetapi sampai saat ini perkiraan cadangan masih terlalu kasar. Shell (1983) memperkirakan bahwa endapan gambut yang berkebalan lebih dari 1 meter yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan energi mencakup dataran rendah lebih dari 17 juta hektar tersebar  Sumatra, kalimantan, dan irian jaya.
Sejak puluhan tahun terakhir ini timbul gagasan baru untuk membangun daerah terpencil. Hal ini diperkuat oleh laporan Euroconsult, (1984) yang antara lain menyatakan bahwa dalam jangka panjang dan tersedia konsemen, industri pertambangan gambut sebagai bahan pembangkit listrik untuk daerah terpencil di Indonesia akan dapat berkompetensi dengan pembangkit listrik bahan minyak.
a.      Karakteristik Lahan Gambut
Bahan induk pembentuk tanah adalah bahan organik hasil akumulasi bagian – bagian tanaman hutan hujan tropika. Gambut tropika umumnya berukuran kasar sekasar batang, dahan dan ranting tumbuhan, sehubungan hal itu maka penetapan karakteristik gambut dengan metode konvensonal menjadi bias. Tanah gambut umumnya terbentuk karena kondisi jenuh air atau karena temperatur yang rendah, sehingga proses dekomposisi berlangsung nisbi lambat dibanding proses akumulasi. Tanah gambut terbentuk dari endapan bahan organik sedenter (pengendapan setempat) yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi dataran rawa dengan ketebalan bervariasi, tergantung keadaan topografi/tanah mineral di bawahnya.
Bahan dasar penyusun tanah gambut didominasi oleh lignin dengan lingkungan yang kahat oksigen, sehingga proses dekomposisi bahan organiknya lambat. Sifat fisika tanah gambut, khususnya hidrolikanya ditentukan oleh tingkat pelapukan bahan organiknya. Pengelompokan tanah gambut berdasarkan tingkat dekompoisi bahan organik dan berat volume menghasilkan tiga macam tanah gambut,yakni  fibrik, hemik, dan saprik. Pengendalian drainase lahan gambut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya oksidasi gambut sehingga dapat menurunkan dekomposisi gambut. Hal ini dapat dimungkinkan dengan penggenangan, menghindari pengusikan (distrubance) dan mengatur tinggi permukaan air tanah (ground water level) di daerah rhizosfer. Drainase gambut harus didekati dengan perspektif total pengelolaan air yaitu dengan meminimalisir “stress” lengas tanah.

b.      Struktur Floristik Hutan Rawa Gambut
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) menyatakan bahwa struktur vegetasi adalah organisme dalam ruang dan individu-individu yang membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen primer seperti bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan tajuk. Menurut Ibie (1997) struktur tegakan dapat ditinjau dari dua bentuk yaitu struktur tegakan vertikal dan struktur tegakan horizontal. Struktur tegakan vertikal oleh Ricard (1984) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Struktur tegakan horizontal merupakan gambaran sebaran jenis pohon dengan dimesinya yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan atau distribusi ruang areal populasi dan individu-individu dan kelimpahan (kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas)
(Kersaw,1964; Mauricio, 1987; Köhler, et al. 2001; Kellman, 1970 dan Ewel, 1980).
Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara fisik pohon dalam suatu tegakan. Sebaran dapat digambarkan berdasarkan :
(a) jenis pohon,
(b) bentuk ruang horizontal dan vertikal,
(c) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas
kanopi,
(d) umur pohon,
(e) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.

Selanjutnya Mueller et al. (1974) berdasarkan tingkatannya membagi struktur vegetasi menjadi lima aspek, yaitu :
·         fisiognomi vegetasi,
·         struktur biomassa,
·         struktur bentuk hidup,
·         struktur floristik dan
·         struktur tegakan.
Kelima tingkatan tersebut tergabung kedalam satu susunan yang bertingkat, dalam hal ini tingkat pertama termasuk kedalam tingkat kedua, tingkat kedua kedalam tingkat ketiga dan seterusnya. Jadi kelima konsep struktur vegetasi
tersebut hanya menggambarkan perbedaan tingkatan secara umum, dengan tingkat pertama paling umum dan tingkat kelima paling rinci.
Michon (1993) menyatakan bahwa studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu metode deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis. Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang berbeda-beda seperti adanya pohon, semak belukar, rumput atau tumbuhan lain yang membentuk lapisan.
Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika poluasi suatu jenis atau kelompok jenis mulau dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur tegakan hutan dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa struktur tegakan dapat diduga tingkat mortalitas dan dengan mengetahui riap diameter pada tiap kelas diameter dapat diduga volume produksi pada rotasi tebang berikutnya berdasarkan asas kelestarian (Marsono dan Sastrosumarto, 1981).

           Pembagian Hutan Rawa Gambut
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
1.         Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
2.         Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan.
3.         Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.

Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
(1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
(2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum.

Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
1)        Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
2)        Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
3)        Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan coklat kelam.

3.    Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Klimatologi ialah ilmu yang menelaah tentang karakteristik iklim antar wilayah. Klimatologi ini lebih ditekankan pada atas rata-rata  dari unsur-unsur iklim yang menjadi cirri dari suatu wilayah. Informasi klimatologi dapat digunakan sebagai penduga keadaan suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya, curah hujan, dan angin pada suatu wilayah pada waktu tertentu (Lakitan, 2002).
Klimatologi dibagi menjadi dua yaitu makro klimatologi dan mikro klimatologi. Makro klimatologi adalah klimatologi yang mempelajari sifat-sifat atmosfer pada daerah yang luas. Sedangkan mikro klimatologi adalah klimatologi iklim pada daerah yang sempit. Klimatologi sangat penting bagi ekologi tumbuhan. Dikontraskan dengan meteorologi yang mempelajari cuaca jangka pendek yang berakhir sampai beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dimana sistem cuaca ini terjadi (thesproduction Blogspot, 2008).
Iklim juga akan mempengaruhi jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan pada suatu kawasan, penjadwalan budi daya pertanian, dan teknik budi daya yang dilakukan petani. Pengetahuan tentang iklim sangat penting artinya dalam sektor pertanian. Keeratan hubungan antara klimatologi (dan meteorologi) dengan ilmu pertanian tercermin dengan berkembangnya cabang klimatologi dan meteorologi yang khusus dikaitkan dengan kegaitan pertanian, yang disebut sebagai klimatologi pertanian dan meteorologi pertanian (Lakitan, 2002).
Selanjutnya menurut Lakitan (2002), iklim merupakan salah satu faktor (selain tanah) yang akan mempengaruhi distribusi tumbuhan. Wilayah dengan kondisi iklim tertentu akan didominasi oleh spesies-spesies tumbuhan tertentu, yakni speseis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tersebut. Berdasarkan keterkaitan yang erat antara kondisi iklim dengan spesies tumbuhan yang dominan pada suatu wilayah, beberapa ahli membuat klasifikasi iklim berdasarkan jenis tumbuhan yang dominan (beradaptasi baik) pada wilayah tersebut.
  

4.    Faktor edaphis hutan rawa gambut
Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan bahan kandungan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15% sampai dengan 20% dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20% sampai dengan 25% bahkan kadang-kadang sampai 90% mengandung bahan organik (Buckman and Brady, 1982). Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan satu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi jenis pohon beraneka ragam, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan. (d) memppunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.

Gambar 4: Tanah Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D 2014)

Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
1)      Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
2)      Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan.
3)      Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
a.    Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
b.    Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
c.    Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al1988) yaitu:
a)    Fibrik yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
b)   Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
c)    Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan coklat kelam.
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.
Vegetasi rawa atau air semula berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Selanjutnya Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik pembentuk gambut. Tingkat kematangan gambut ini dicirikan oleh kandungan serat bahan organik tersebut. Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan jaringan tumbuhan yang tertahan oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak termasuk akar hidup dan struktur jaringannya masih dapat dikenali. Fibric adalah tingkat gambut yang dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi serat. Tingkat kematangan hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga sampai duapertiga volumenya. Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk, kurang dari sepertiga volumenya masih berupa serat. Jumlah bentuk dan ukuran serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Ruang pori total (RPT) ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis rata-rata (average specifik density) gambut, sedang sebaran ukuran pori dipengaruhi oleh sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984).
 Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986).
Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974). Menurut Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu :
1) Gambut eutropik yang subur
2) Gambut mesotropik dengan kesuburan sedang
3) Gambut oligotropik dengan kesuburan rendah Lokasi HPH PT.
Yos Raya Timber didominasi oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut yang miskin dengan sumber penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin ke arah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecendrungan semakin menurunya kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya pH dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Sebagai akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen sering memiliki variasi lokal sebagai phasic communities (Anderson, 1961).
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Prichet (1979) menyatakan bahwa kemampuan hutan tropika basah Indonesia bukan disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh adanya siklus hara yang ketat dan tertutup yang mampu menyumbat peluang kebocoran unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada hakekatnya merupakan proses pembangunan ekosistem.
Pada saat suksesi mencapai klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada dalam keadaan kondisi yang paling baik. Tanaman yang berkembang pada kondisi ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling optimal. Dehutanisasi yang diikuti oleh konversi hutan menjadi berbagai macam fungsi, betapun mulianya tujuan program ini, secara ekologi pada hakekatnya memundurkan perjalanan suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah watak siklus hara yang ketat dan tertutup menjadi longgar dan terbuka akan memberikan peluang lebar terhadap proses kebocoran hara mineral.
Jordan (1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih banyak di simpan di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak disimpan di kayu. Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary productivity) hutan tropis lebih besar, namun lebih disebabkan oleh banyaknya produksi daun. Banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara yang ada di dalam hutan tropika basah tersimpan pada biomas tanaman dan bukan pada tanah hutan sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur haranya tersimpan di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan daun. Oleh karena itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan hara tanah secara drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah temperate (nontropis).
Tidak adanya pasokan hara dari air tanah dan sungai menjadikan vegetasi yang tumbuh digambut ombrogen akan tumbuh dalam siklus hara yang terbatas.  Adanya kehilangan hara akibat proses pencucuian atau terbawa keluarv oleh air gambut menjadikan gambut ombrogen semakin miskin unsur hara. Dengan kondisis tersebut kubah gambut ombrogen memiliki vegetasi dengan tipe yang khas yang berbeda antara bagian tepi kubah dengan bagian pusat kubah. Pada bagian tepi kubah yang relatif dangkal, perakaran tumbuhan masih dapat mencapai tanah mineral atau gambut topogen.
Pada bagian tersebut akan berkembang mixed forest dengan pohon-pohon yang besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Semakin ketengah kubah gambut terdapat deep peat forest yang memiliki tumbuhan dengan ukuran lebih kecil dan memiliki keragaman jenis yang lebih kecil dibandingkan vegetasi dibagian tepi. Pada bagian tengah kubah gambut, berkembang vegetasi padang forest yang terdiri pohon-pohon kayu  kecil dan jarang, pandan dan semak-semak . Perubahan dari mixed forest menjadi deep feat forest terdapat pada kedalaman gambut sekitar 3 meter (Adhi, 1986)
Telah dibuktikan bahwa semakin kepusat menuju ke puncak kubah gambut terdapat penurunan jumlah hara mineral (Whitmore, 1990). Kondisi hara mineral secara alamiah memang miskin di gambut ombrogen mempengaruhi produktivitas primer. Meskipun studi tentang hal ini masih harus dilakukan,tetapi jumlah bidang dasar di hutan rawa gambut menunjukkan bahwa produktivitas primer hutan gambut, khususnya di daerah sekitar puncak kubah gambut, Sangat rendah. Whitten et al., (1988) menyimpulkan bahwa dihabitat miskin seperti ini,masih tetap memungkinkan tetap terjadinya pertumbuhan. Alasan utama adalah :
Di habitat dengan produktivitas rendah, tumbuhan harus memproduksi daun yang lebih baik perlindunganya untuk meningkatkan daya hidup daun itu sendiri. Daun memiliki batas hidup, biasanya terkait dengan jumlah kerusakan yang mampu ditolelir, sehingga akan lebih menguntungkan bagi tumbuhan bila dapat menjamin kerusakan selambat mungkin. Kemungkinan jaringan kutikula yang relatif tebal pada jenis yang tumbuh di hutan rawa gambut berfungsi untuk mengurangi pencucian hara dari daun hidup
Di habitat dengan produktivitas rendah dan ditumbuhi vegetasi dimana produksi biji harus disertai dengan mekanisme anti predator, misalnya : kandungan zat racun yang tinggi pada buah atau pembuahan secara besar-besaran, biasanya terdapat sedikit jenis tumbuhan dan terdapat pengelompokan jenis secara nyata.
Daun-daun yang tumbuh dihutab rawa gambut umumnya mengandung resin, aroma yang menusuk. Hal ini merupakan ciri tumbuhan yang tumbuh di habitat miskin hara terutama bila suplei nitrogen dan phospor sangat terbatas. Daun yang tebal mungkin tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri terhadap kondisi habitat, tetapi juga merupakan alat pertahanan terhadap herbivora (Whitten,et al., 1988). Jarangnya epipit yang tumbuh ditajuk pohon di hutan rawa gambut diinterprestasikan oleh Janzen (1974)  sebagai konsekuensi dari rendahnya kotoran burung, serangga, dan daun atau ranting yang jatuh.
Meskipun beberapa organisme mikro mampu memecahkan senyawa fenol, tetapi kerjanya sangat lambat dan membutuhkan organisme yang cukup akibatnya serasah di hutan rawa gambut tidak disentuh oleh perombak selama beberapa minggu, hingga kandungan senyawa fenol tercuci air hujan. Tingginya kandungan senyawa fenol di hutan rawa gambut mempunyai pengaruh negatif terhadap akitivitas organisme mikro, baik mirorhiza maupun jamur mikro lainya dan bakteri. Pengaruh negatif ini akan meningkat di hutan rawa gambut yang ditebang. Hal ini disebabkan oleh (Whitten et al., 1988):
1)      Kualitas hara yang rendah dari tanah hutan rawa menyebabkan mikro lebih tergantung pada serasah untuk memperoleh hara.
2)      Kemasaman tanah yang tinggi
3)      Laju produksi serasah rendah akibat produktivitas primer rendah
4)      Kualitas hara yang terkandung di serasah rendah karena proses seleksi selama proses   penarikan kembali hara yang masih bisa  dimanfaatkan sebelum daun gugur.
Dalam ekosistem hutan rawa gambut, hara memasuki sistem melalui aliran hidrologi yang berkaitan  erat dengan curah hujan atau aliran permukaan dan lairan tanah (Lugo, 1982). Namun studi tentang siklus hara di indo malaya, sangat jarang ditemukan. Satu studi tentang dinamika bahan organik di sumatra telah dilakukan oleh Brady (1991) yang menyatakan bahwa salah satu sumber hara yang penting  dalam ekosistem hutan rawa gambut, khususnya gambut ombrogen, adalah air hujan. Dengan demikian, jumlah pasokan hara sangat tergantung dari kualitas air hujan tersebut.
Selain dari curah hujan sumber hara dihutan rawa gambut ombrogen adalah dari bahan organik (gambut) dan dari jaringan tumbuhan hidup (Whitten et al., 1988). Gudang hara (sink) dalam ekosistem rawa gambut pada umumnya adalah air, tanah (organik) dan biomas tumbuhan (Lugo, 1982).
Komponen-komponen ekosistem yang memiliki kapasitas menyimpan fosfor adalah : tanah, kayu diatas tanah, kayu didalam tanah, daun, lapisan serasah, dan air permukaan. Urutan komponen-komponen tersebut untuk menyimpan bahan organik umumnya sama dengan urutannya untuk menyimpan hara mineral. Beberapa unsur biomasa hidup, seperti daun, bunga dam buah menyimpan hara dalam kosentrasi yang besar, sedangkan kayu, tanah dan air menyimpan hara yang lebih lemah. Namun dalam level ekosistem., besarnya jumlah hara yang tersimpan dalam masing-masing unsur biomas tersebut sangat dipengaruhi oleh ukuran unsur biomas tersebut. Unsur biomas yang besar mengandung kosentrasi hara yang kecil, mungkin menyimpan hara yang lebih banyak jumlahnya.
Aliran hara diantara unsur-unsur ekosistem tergantung pada ketersediaan dan pengembalian hara. Suatu hara mineral mungkin tersimpan dalam jumlah besar di satu unsur ekosistem, tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh unsur-unsur ekosistem lainnya, sehingga pergerakan atau aliran hara tersebut terhambat. Untuk bisa dimanfaatkan oleh unsur ekosistem lain, hara tersebut harus dirombak secara kimiawi oleh organisme.
Laju pengembalian hara dari unsur-unsur ekosistem hutan rawa gambut bervariasi menurut jenis mineral. Laju pengembalian hara yang membatasi prduktivitas tumbuhan, seperti nitrogen dan fosfor sangat cepat sedangkan hara-hara yang kurang kritis pengembaliannya lebih lambat (Golley, 1977).
Pada umumnya gambut tropika termasuk yang ada di Sumatera dan Kalimantan secara terus menerus basah dengan muka air tanah di atas atau di dekat permukaan gambut. Pohon-pohon yang ada di wilayah gambut yang masih berhutan, masih berfungsi mempertahankan keseimbangan tingginya permukaan air tanah melalui proses evapotranspirasi yang lambat dan seimbang. Disamping itu  faktor lingkungan  seperti efek penyanggah gambut yang porous, permeabilitas lateral gambut fibrik dibagian tengah kubah, aliran permukaan intensif melalui parit-parit kecil melalui aliran penghubung yang memungkinkan adanya pelepasan air secara melimpah di bagian tepi kubah, yang segera diikuti bagian dalam kubah (karena porous) dari waktu ke waktu yang biasanya dapat diamati sewaktu hari hujan (Wahyunto et al., 2005).
Lahan gambut memegang peranan yang penting dalam sistem hidrologi  suatu lahan rawa. Salah satu sifat gambut yang berperan dalam sistem hodrologi adalah daya menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki daya menahan air yang besar hingga 300-800% dari bobotnya. Selain daya menahan air, gambut juga memiliki daya lepas air yaitu jumlah air yang dilepaskan jika permukaan air diturunkan per satuan kedalaman yang juga besar. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut yang sangat dalam ( lebih dari 4 meter) sangat berperan pada konservasi air ( Wetland, 2005; Wahyunto et al., 2005).


5.    Komposisi Gambut
Gambut adalah sisa timbunan tumbuhan yang telah mati dan kemudian diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen ang lebih stabil. Selain zat organik yang gambut terdapat juga zat anorganik dalam jumlah yang kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air (lebih dari 90%). Zat organik pembentuk sama dengan tumbuhan dalam perbandingan yang berlainan sesuai dengan tingkat pembusukannya. Zat organik tersebut terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wak dan resin), humus dan lain-lain.
Komposisi zat organik ini tidak stabil tergantung pada proses pembusukan, misalnya cellulosa pada tingkat pembusukan dini (H1-H2) sebanyak 15-20 % tetapi pada tingkat pembusukan lanjut (H9-H10) hampir tidak ditemukan. Sebaliknya humus pada cellulosa pada tingkat pembusukan dani terdapat 0-15 %, sedangkan pada gambut yang telah mengalami pelapukan yang lebih tinggi (H9-H10) mencapai 50-60 %. Unsur –unsur pembentukan gambut sebagai besar terdiri dari karbon (C),hidrogen (H),nitrogen (N) dan oksigen (O). selain unsur utama terdapat juga unsur lain Al,Si,S,P,Ca. dan lain-lain dalam bentuk terikat. Tingkat pembusukan pada gambut akan menaikkan kadar karbon (C) dan menurunkan oksigen (O).
Daerah gambut topogenus lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan daerah gambut ombrogenus karena gambut topogenus mengandung relatif lebih banyak nutrisi. Kedua jenis gambut tersebut pada hakikatnya secara megaskopis agak sukar didefenisikan secara pasti karena kompleksnya tahapan proses pembusukan. Komposisi gambut menentukan mutu dan kegunaannya yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan zat organik,abu,bulk density,kandungan kayu dan lain-lain.

6.    Ciri –Ciri Ekosistem Rawa Gambut
Menurut penjelasan Elfis, yang menjadi ciri khas rawa gambut adalah sebagai berikut:
1)   Warna air hitam, hal itu terkait dengan tingginya kandungan bahan organik
2)   Tanaman rawa gambut tumbuh di atas humus
3)   Tinggi tanaman rata-rata sama.
4)   Diameter batang tanaman besar
5)   Tanamannya lambat besar dibandingkan tanaman darat.


7.    Klasifikasi Ekosistem Rawa Gambut
Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% tekstur pasir atau lebih dari 30% tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain: tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50oC.

8.    Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Dephut, 2005). Menurut Daniel et al., (1995) sistem silvikultur merupakan program pengelolaan hutan untuk seluruh rotasi. Batasan ini membantu menjamin beberapa keseragaman dan kontinyuitas jangka panjang dari perlakuan yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut perhatian harus difokuskan pada langkah penting dari regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang keliru, bahwa sistem silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi hutan yang dapat menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya.
Rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau letak yang menjorok masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Dalam pengertian yang lebih luas, rawa digolongkan sebagai lahan basah (wet lands) atau lahan bawahan (low lands), Lahan gambut merupakan salah satu contoh lahan rawa (Noor, 2004). Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut (Sagiman, 2007).
Menurut Hardjowigeno (1997) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreverssible dan subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut.

9.    Siklus Biogeokimia Hutan Rawa Gambut
a.    Pengertian Siklus Biogeokimia
Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumi. Materi yang berupa unsur-unsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk hidup dan tak hidup. Siklus biogeokimia atau siklus organic anorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi jugs melibatkan reaksi-reaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus biogeokimia. Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen, dan siklus sulfur.

b.   Fungsi Siklus Biogeokimia
Fungsi Daur Biogeokimia adalah sebagai siklus materi yangmengembalikan semua unsur-unsur kimia yang sudah terpakai oleh semuayang ada di bumi baik komponen biotik maupun komponen abiotik,sehingga kelangsungan hidup di bumi dapat terjaga.

c.    Jenis-jenis daur biogeokimia
1)   Siklus Nitrogen
Atmosfer mengandung lebih kurang 80% atom nitrogen dalam bentuk gas nitrogen (N2). Di dalam organisme, nitrogen ditemukan dalam semua asam amino yang merupakan penyusun protein. Bagi tumbuhan, nitrogen tersedia dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) yang masuk ke dalam tanah melalui air hujan dan pengendapan debu-debu halus atau butiran lainnya. Beberapa tumbuhan, seperti seperti Bromeliaceae epifit yang ditemukan di hutan hujan tropis, memiliki akar udara yang dapat mengambil NH4+ dan NO3- secaralangsung dari atmosfer.
Jalur lain penambahan nitrogen dalam ekosistem adalah melalui fiksasi nitrogen (nitrogen fixation). Fiksasi nitrogen merupakan proses perubahan gas nitrogen (N2) menjadi mineral yang digunakan untuk mensintesis senyawa organik seperti asam amino. Nitrogen difiksasi oleh bakteri Rhizobium, Azotobacter, dan Clostridium yang hidup bebas dalam tanah. Selain dari sumber alami, sekarang ini fiksasi nitrogen dibuat secara industri yang digunakan sebagai pupuk. Pupuk bernitrogen ini memberikan sumbangan utama dalam siklus nitrogen di suatu ekosistem akibat kegiatan pertanian.
Meskipun tumbuhan dapat menggunakan amonium secara langsung, tetapi sebagian besar amonium dalam tanah digunakan oleh bakteri aerob tertentu sebagai sumber energi. Aktivitas ini mengubah amonium menjadi nitrat (NO3-) kemudian menjadi nitrit (NO2-). Proses ini disebut nitrifikasi. Nitrat yang dibebaskan bakteri ini kemudian diubah oleh tumbuhan menjadi bentuk organik, seperti asam amino dan protein.
Beberapa hewan akan mengasimilasi nitrogen organik dengan cara memakan tumbuhan atau hewan lain. Pada kondisi tanpa oksigen (anaerob), beberapa bakteri dapat memperoleh oksigen untuk metabolisme dari senyawa nitrat. Proses ini disebut denitrifikasi. Akibat proses ini, beberapa nitrat diubah menjadi N2 yang kembali ke atmosfer. Perombakan dan penguraian nitrogen organik kembali menjadi amonium yang disebut amonifi kasi dilakukan oleh bakteri dan jamur pengurai. Proses-proses tersebut akan mendaur ulang sejumlah besar nitrogen di dalam tanah.

2)   Siklus Fosfor
Keberadaan fosfor pada organisme hidup sangat kecil, tetapi peranannya sangat diperlukan. Atom fosfor hanya ditemukan dalam bentuk senyawa fosfat (PO43-). Fosfat diserap oleh tumbuhan dan digunakan untuk sintesis organik. Fosfor banyak dikandung oleh asam nukleat, yaitu bahan yang menyimpan dan mentranslasikan sandi genetik. Atom fosfor juga merupakan dasar bagi ATP (Adenosine Tri Phospat) berenergi tinggi yang digunakan untuk respirasi seluler dan fotosintesis. Selain itu merupakan salah satu mineral penyusun tulang dan gigi.
Fosfor merupakan komponen yang sangat langka dalam organisme tak hidup. Produktivitas ekosistem darat dapat ditingkatkan jika fosfor dalam tanah ditingkatkan. Peristiwa pelapukan batuan oleh fosfat akan menambah kandungan fosfat di dalam tanah. Contohnya adalah akibat hujan asam. Setelah produsen menggabungkan fosfor ke dalam bentuk biologis, fosfor dipindahkan ke konsumen dalam bentuk organik. Setelah itu, fosfor ditambahkan kembali ke tanah melalui ekskresi fosfat oleh hewan dan bekteri penguarai detritus.
Humus dan partikel tanah mengikat fosfat sedemikian rupa, sehingga siklus fosfor terlokalisir dalam ekosistem. Namun, fosfor dapat dengan mudah terbawa aliran air yang pada akhirnya terkumpul di laut. Erosi yang terjadi akan mempercepat pengurasan fosfat di samping pelapukan batuan yang sejalan dengan hilangnya fosfat.
Fosfat yang berada di lautan secara perlahan terkumpul dalam endapan yang kemudian tergabung dalam batuan. Ketika permukaan air laut mengalami penurunan atau dasar laut mengalami kenaikan, batuan yang mengandung fosfor ini menjadi bagian dari ekosistem darat. Dengan demikian, fosfat mengalami siklus di antara tanah, tumbuhan, dan konsumen dalam waktu tertentu.

3)   Siklus Karbon dan Oksigen
Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap pabrik. Karbon dioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.
Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain. Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.
4) Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar mataharibmerupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk air, es, atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
a.            Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
b.            Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
c.             Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponenkomponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai (DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.

Suksesi Vegetasi Hutan Rawa Gambut Propinsi Riau

Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Whittaker (1970) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah sebagai berikut :

(1) Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah
(2) Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat
(4) Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi
(5) Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
(6) Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
(1) Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.

(2) Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.

(3) Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan. Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat.
Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis Yang toleran. Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi  80 tahun. Jika hutan hujan mengalami kerusakan±sekunder akan terbentuk  oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan  mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).

Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi. Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.

Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan. Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis.
Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia. Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya, yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus; sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung mengarah ke “ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis,
persentase kematian akibat “inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan “survive” (Fox, 1976).
Pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat, akan diikuti oleh pembelukaran bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang mengakbatkan adanya perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980; Kellman, 1970). Keadaan lingkungan yang berubah segera setelah penebangan yaitu, kelembaban, angin, intensitas cahaya adalah akibat “buffer effect” dari belukar tersebut. Akibatnya adalah pada saat “buffer effect” ini mencapai maksimum pertumbuhan, semai kayu berharga mencapai kondisi optimum.
Sehubungan dengan ini Marsono (1980) telah mencoba menghubungkan pola pertumbuhan semai jenis Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan sesudah penebangan. Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor lingkungan yang kompleks. Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti Nitrogen, Phosfor tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang menentukan (tidak signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang sama.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Kartawinata (1975, 1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan bahwa suhu dan kelembaban yang memadai sangat menentukan pertumbuhan semai Dipetrocarpaceae. Sementara itu Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga bahwa sesudah 5 tahun tebangan terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang cukup yaitu 5000-30.000 per hektar. Demikian juga Blanche (1975) melaporkan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak berlebihan jumlah semai Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan asli.
Menurut Marsono et al., (1980) bahwa sekitar 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan jumlah semai jenis Dipterocarpaceae mencapai keadaan yang optimal. Oleh karena itu untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga dan seterusnya waktu itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya dilakukan inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun berikutnya jumlah semai kayu berharga cendrung menurun. Maka sesudah itu (4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia berupa tindakan silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari persaingan dan menutupnya kembali tajuk. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”. Kalaupun setelah inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya dapat dikerjakan.
Selanjutnya Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa jenis-jenis Dipetrocarpaceae yang suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat. Akibat adanya penebangan yang relatif tidak membuka tajuk terlalu berat, pertumbuhannya terstimulir. Namun beberapa tahun kemudian kompetisi yang makin besar dan menutupnya kembali tajuk menyebabkan posisi jenis Dipterocarpaceae mulai menurun.Sastrosumarto et al., (1979) dan Marsono et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya melaporkan bahwa riap tinggi semai jenis-jenis berharga cendrung menurun dibanding dengan jenis lain-lain dengan menutupnya tajuk dan persaingan yang semakin berat.Sementara itu jenis-jenis lain mulai menunjukan pertumbuhan yang lebih baik.
Marsono dan Sastrosumarto (1980) telah melaporkan hasil penelitiannya di Stagen untuk tingkat pancang dengan ukuran indeks nilai penting yang merupakan kehadiran relatif (relative density), ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun jenis Dipetreocarpaceae lebih mendominasi tingkat pancang. Perkembangan selanjutnya ternyata berubah, dengan adanya perubahan/penutupan tajuk. Tajuk berkembang dan mulai menutup sehingga intensitas cahaya berkurang. Jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya terangsang sehingga dominasi berubah. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa jenis Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian penebangan dan penyaradan akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya, seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra.









BAB 2
KOMPONEN-KOMPONEN EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT
2.1 Komponen Abiotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Abiotik adalah bukan makhluk hidup atau komponen tak hidup. Kompnen abiotik merupakan komponen fisik dan kimia yang membentuk lingkungan abiotik . lingkungan abiotik membentuk ciri fisik dan kimia temepat hidup makhluk hidup contoh kompnen abiotik antara lain suhu, cahaya, air, kelembapan, udara, garam-garam mineral dan tanah. Komponen ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berinteraksi sehingga mempengaruhi sifat yang satu dengan sifat yang lain (Aryulina, 2007).
Untuk komponen abiotik terdiri atas:
1)      Lapisan Humus, adalah lapiasan teratas dari tanah. Merupakan lapisan tanah  yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
2)      Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah, yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk terutama para dekomposer. Berbagai jenis kumbang tanah, lipan, kaki seribu, cacing tanah, kapang dan jamur serta bakteri bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk, sehingga menjadi unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya.
3)      Suhu, Menurut Kartasapoetra, (1987) Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang dapat diukur berdasarkan skala tertentu dengan manggunakan berbagai thermometer. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu dimuka bumi dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)      Jumlah radiasi yang diterima pertahun-perhari-permusim.
b)      Pengaruh daratan atau lautan
c)      Pengaruh ketinggian tempat
d)     Pengaruh angin secara tak langsung, misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal
e)      Pengaruh panas laten, panas yang disimpan dalam atmosfer
f)       Penutup tanah, tanah yang ditutup vegetasi mempunyai temperatur < dari pada tanah tanpa vegetasi
g)      Pengaruh sudut dating  sinar matahari, sinar yang vertikal akan membuat suhu > dari pada yang datangnya miring,
h)      Tipe tanah, tanah-tanah indeks suhunya lebih tinggi.
4)      Kelambapan adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara, dalam hal ini kita mengenal beberapa istilah, anatara lain:
a)      Kelembapan mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satusatuan udara yang dinyatakan dalam gr/ m3
b)      Kelembapan spesifik, merupakan perbandingan uap air di udara dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gr/ kg
c)      Kelambapan relative, merupakan perbandingan jumlah uap air diudara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung secara tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Angka kelembapan  relatif: 0 – 100%, 0% berarti udara kering, 100% artinya udara jenuh dengan uap air yang artinya akan terjadi titik air hujan (Kartasapoetra, 2000).
5)      Asal kata “air” tidak diketahui secara jelas, sehingga banyak pengertian dari air yang dikemukan oleh para ahli, diantaranya yaitu Menurut  Jumin (1987) Air merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan tanaman. Kekurangan air mengakibatkan terganggunya perkembangan morfologi dan proses fisiologis tanaman. Masalah kekurangan air timbul akibatnya siklus hidrologi di alam tidak merata. Sebagai tindak lanjutnya lahir pemikiran untuk memenuhi kekurangan air yang sering terjadi. Salah –satu ilmu yang mengkaji dan membahas tentang maslah air bagi pertanian adalah ilmu irigasi. Sedangkan menurut Dwidjoseputro (1986) air adalah bahan yang paling banyak didalam sel-sel yang hidup dan air merupakan suatu pelarut yang baik, maka air yang ada dalam sel-sel itu tidak pernah berupa air murni melainkan selalu mengandung zat-zat yang larut, air juga mengandung partikel-partikel bebas yang tidak mungking larut didalamnya.
6)      Cahaya itu terdiri atas partikel-partikel kecil yang disebut foton dan foton ini mempunyai sifat-sifat materi dan gelombang. Foton juga memiliki energi yang dinyatakan dengan kuantum. Berapa banyak energi yang dimiliki oleh cahaya itu tergantung kepada panjang-pendeknya gelombang.  Sinar ungu yang lebih pendek gelombangnya dari pada sinar merah, mempunyai kuantum lebih banyak daripada sinar merah (Dwidjoseputro, 1986).
7)      Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional, dan local. Sedangkan iklm mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu (Sumber: http//id.wikipedia.org/wiki/ekosistem).

1.2     Komponen Biotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Menurut Istomo (2004) Beberapa jenis tanaman khas rawa gambut adalah:
1)      Tumih (Combretocarpus ratundus)
2)      Mahang (Macaranga spp.)
3)      Pulai (Alstonia pneumatophora)
4)      Milas (Parastemon urophyllum)
5)      Balam-suntai (Palaquium spp.)
6)      Terentang (Camnosperma coreaceum)
7)      Geronggang (Cratoxylon arborencens)
8)      Simpur (Dillenia excelsa)
9)      Jelutung (Dyera lowii)
10)  Gelam (Melaleuca cajuputi)
11)  Ramin (Gonystylus bancanus)
12)  Meranti batu (Shorea uliginosa)
Menurut Elfis (2010), beberapa jenis tanaman tingkat pohon dan tiang yang ditemukan pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut di Lintas Bono Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan antara lain:

No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
1
Ambacang
Mangifera foetida Laur.
Anacardiaceae
2
Arang-Arang Malam
Diospyros malaccensis Bakh.
Ebenaceae
3
Arang-Arang
Diospyros puncticulosa Bakh.
Ebenaceae
4
Bengku
Ganua motleyana Pierre.
Sapotaceae
5
Bintangur
Calophyllum inophylide King.
Guttiferae
6
Darah-Darah
Horsfieldia irya Warb.
Myristicaceae
7
Durian Burung
Durio carinatus Mast.
Bombaceae
8
Geronggang
Cratoxylon arborescens Bl.
Guttiferae
9
Jangkang
Xylopia malayana Hk.f.et.Th.
Annonaceae
10
Kelokak
Melannorhoe sp.
Anacardiaceae
11
Kelat
Eugenia sp.
Myrtaceae
12
Kempas
Koompassia malaccensis Maing.
Caesalpinaceae
13
Keruing
Dipterocarpus apendiculatus Scheff.
Dipterocarpaceae
14
Keranji Hutan
Dialium maingayi Bakh.
Caesalpinaceae
15
Kerbau Jalang
Melannorhoe aptera King.
Anacardiaceae
16
Mendarahan
Myristica sp.
Myristicaceae
17
Mangga Hutan
Mangifera foetida Lour.
Anacardiaceae
18
Manggis-Manggis
Garcinia sp.
Guttiferae
19
Medang Lundu
Lindera sumbubelliflora Bl.
Lauraceae
20
Medang Pergai
Ostodes paniculata Bl.
Lauraceae
21
Medang Tingkat
Actinodaphne glabra Bl.
Lauraceae
22
Meranti Bunga
Shorea teysmannia Dyer.
Dipterocarpaceae
23
Meranti Bakau
Shorea uliginosa Foxw.
Dipterocarpaceae
24
Meranti Rawah
Shorea parvifolia Dyer.
Dipterocarpaceae
25
Meranti Burung
Shorea acuminta Dyer.
Dipterocarpaceae
26
Mersawa Paya
Anisoptera margarita Korth.
Dipterocarpaceae
27
Mersawa Kuning
Anisoptera curtisii Dyer.
Dipterocarpaceae
28
Medang
Litsea sp.
Lauraceae
29
Nyatoh
Palaquium sumatranum Buck.
Sapotaceae
30
Pulai
Alstonia pneumatophora Buck.
Apocynaceae
31
Pisang-Pisang
Kandelia condel Druce.
Rhizophoraceae
32
Parak-Parak
Amoora rubiginosa Hiern.
Meliaceae
33
Pasir-Pasir
Urandra scorpiodes Pulle.
Icaceae
34
Perapat
Combretocarpus rotundatus Dans.
Bombaceae
35
Punak
Tetrameristra glabra Miq.
Theaceae
36
Punggai
Coelostegia griffithii Benth.
Bombaceae
37
Lamin
Gonystilus bancanus Kurz.
Thymelaceae
38
Balau Hitam
Shorea atrinervosa Symington.
Dipterocarpaceae
39
Rengas
Gluta renghas L.
Anacardiaceae
40
Resak
Vatica wallichii Dyer.
Dipterocarpaceae
41
Simpur
Dillenia excelsa Gilg.
Dilleniaceae
42
Suntai
Palaqium burkii H.J.L.
Sapotaceae
43
Terentang Manuk
Comnosperma auriculata Hook.f
Anacardiaceae
44
Terantang
Comnosperma macrophyla Hook.f
Anacardiaceae
45
Trembasa
Fragraec fragrans Roxb.
Loganiaceae
46
Trenggayun
Paratocarpus triandus J.J.S.
Moraceae

Sedangkan hewan yang terdapat pada ekosistem hutan rawa gambut antara lain:
1.
Burung RajaUdang
7.
Ikan Puyu
2.
Monyet
8.
Ikan Lele
3.
Ular
9.
Ikan Gabus
4.
Udang
10.
Zooplankton
5.
Biawak
11.
capung
6.
Ikan Sepat










2.2.1  Lahan Gambut sebagai Lahan Pertanian
1)      Tanaman
Lahan yang belum dibuka, seperti:
a)      Mahang (Macaranga javanica)
b)      Kincong
Gambar 5. Kincong (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)

 













c)      Paku keras








Gambar 6. Paku Keras (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)

 



Lahan yang sudah dibuka, seperti:                                
a)      Nenas (Ananas comosus)
b)      Ubi kayu (Manihot utilisima)
c)      Labu (Cucurbita spp)
d)     Pisang (Musa acuminata)
e)      Jagung (Zea mays)

2)      Hewan
a)      Monyet
b)      Kera
c)      Jangkrik
d)     Burung
e)      Rusa
f)       Babi
g)      Kancil

2.2.2  Lahan Gambut sebagai Hutan Tanaman Industri
1)      Tanaman
a)      Akasia (Cassia sp)
a)      Gambar 7. Akasia (Cassia sp) (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)




b)      Paku-Pakuan Keras
Gambar 8: Paku-pakuan Keras(Sumber: Arsip Biologi 6D, 2011)
 
















2)      Hewan
a)      Serangga
b)      Burung


BAB 3
POLA INTERAKSI EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT
3.1  Pola interaksi biotik pada ekosistem hutan rawa gambut
Pola-Pola Interaksi Biotik pada Ekosistem Rawa Gambut
       Simbiosis ialah bentuk interaksi yang erat dan khusus antara dua makhluk hidup yang berlainan jenis. Makhluk hidup  yang melakukan simbiotik disebut simbion. Simbiosis parasitisme, yaitu interaksi dua individu atau populasi dinama salah satu individu untung, sedangkan simbion pasangannya rugi.

1)      Gambut Dalam
a)         Burung Raja Udang dan Ikan
Dimana burung  raja udang yang hidup di ekosistem darat memakan ikan yang ada di ekosistem perairan, seperti ikan-ikan kecil.

b)         Ikan- Ikan Kecil dan Fitoplankton/Zooplankton
Fitoplankton adalah makan dari ikan-ikan kecil, dimana ikan-ikan kecil akan memakan fitoplankton/zooplankton yang melayang atau berada di dasar perairan guna memenuhi nutrisi untuk tubuhnya.

c)         Dekomposer (pengurai)
       Merupakan organisme yang menguraikan sisa organisme untuk memperoleh makanan atau bahan organik yang diperlukan. Penguraian memungkinkan zat-zat organik yang kompleks terurai menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Kemudian dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen. Organisme yang termasuk dekomposer adalah bakteri dan jamur (Aryulina, 2007).

2)      Gambut Dangkal
a)         Ubi dan Babi
Di lahan gambut telah dibuka dan yang sudah dialih fungsikan menjadi lahan pertanian ditanami ubi, tanaman ubi tersebut di makan oleh babi yang datang dari hutan gambut. Ubi  yang terserang babi menjadi rusak karena dalam usahanya untuk memakan umbi tersebut, mereka mengijak-ngijak tanaman ubi tersebut.

b)         Pisang dan Monyet
Monyet adalah hewan yang suka memakan pisang, sehingga di ekosistem ini terjadi simbiosis antara monyet dan pisang yang ditanam oleh petani.

c)         Dekomposer (pengurai)
       Merupakan organisme yang menguraikan sisa organisme untuk memperoleh makanan atau bahan organik yang diperlukan. Penguraian memungkinkan zat-zat organik yang kompleks terurai menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Kemudian dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen. Organisme yang termasuk dekomposer adalah bakteri dan jamur (Aryulina, 2007).

3)         Hutan Tanaman Industri (HTI)
a)         Burung dan Serangga
Serangga yang hidup di dasar tanah dan di batang pohon dimakan oleh serangga pemakan serangga.


3.2 Pola Rantai Makanan, Jaring-Jaring Makanan, Piramida Biomassa, Piramida Makanan pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut

3.2.1. Rantai Makanan

       Tumbuhan dan binatang dalam sebuah ekosistem terhubung melalui hubungan makanan. Tanaman berfungsi sebagai produsen dengan menggunakan energi  matahari untuk menghasilkan makanan yang bisa dimakan binatang. Energi yang disimpan dalam dalam tumbuhan sebagai makanan diteruskan keseluruh langsung kekonsumen primer (tingkat pertama) yaitu bnatang-binatang yang memakan tumbuhan dan secara tidak langsung menjadi konsuem sekunder (tingkat kedua), binatang-binatang lain yang memakan konsumen sekunder di sebut konsumen tersier (tingkat ketiga).
Rantai makanan yang terjadi pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut adalah sebagai berikut :
Gambar  9: Rantai Makanan Pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut Dalam (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014).
 











       Setiap rantai makanan mengandung dekomposer (pengurai). Para pengurai ini meliputi bakteri, jamur, dan beberapa jenis serangga yang mengurai materi tumbuhan dan hewan yangmati menjadi mineral dan humus dalam tanah. Dalam proses ini, pengurai mendapatkan energy untuk hidup dari makanan yang diurainya.
Ganbar  10. Rantai Makanan Pada Ekosistem Rawa Gambut Dangkal (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014).
 

















3.2.2        Jaring-Jaring Makanan
       Setiap ekosistem mepunyai banyak rantai makanan yang saling terhubung membentuk jarring makanan yang lebih rumit. Hal ini di karenakan binatang sering kali memakan beragam makanansehingga memainkan peranan yang berbeda dalamsejumlah rantai makanan. Binatang dari satu rantai makanan memakan tumbuhan dan binatang dari rantai makanan yang lain. Dengan cara ini, semua mahluk hidup di bumi saling terhubung dalam satu jaringan yang luas dan berkelanjutan.

Ular
Biawak
Manusia
Ikan besar
Ikan kecil
Ikan kecil
Udang-udangan
fitoplankton
zooplankton
alga
Gambar 11: Jaring-jaring Makanan Ekosistem Rawa Gambut Dalam di Perairan (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)


Tumbuhan
Burung
 


Burung
Ular
manusia
Tumbuhan
Monyet
Gambar 12: Jaring-jaring Makanan Ekosistem Rawa Gambut Dalam di Darat (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)


3.2.3        Piramida Biomassa
       Seringkali piramida jumlah yang sederhana kurang membantu dalam memperagakan aliran energi dalam ekosistem. Penggambaran yang lebih realistik dapat disajikan dengan piramida biomassa. Biomassa adalah ukuran berat materi hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-rata berat organisme di tiap tingkat harus diukur kemudian barulah jumlah organisme di tiap tingkat diperkirakan.
       Piramida biomassa berfungsi menggambarkan perpaduan massa seluruh organisme di habitat tertentu, dan diukur dalam gram. Untuk menghindari kerusakan habitat maka biasanya hanya diambil sedikit sampel dan diukur, kemudian total seluruh biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti ini akan didapat informasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem. Pada piramida energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang tersedia di tiap tingkat trofik. Berkurang-nya energi yang terjadi di setiap trofik terjadi karena hal-hal berikut. Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap dan dimakan oleh tingkat trofik selanjutnya. Beberapa makanan yang dimakan tidak bisa dicemakan dan  dikeluarkan sebagai sampah. Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari  tubuh organisms, sedangkan sisanya digunakan sebagai sumber energi (Elfis, 2010).


3.3     Aliran Energi dan Siklus Materi Ekosistem Rawa Gambut

       Aliran energi merupakan rangkaian urutan pemindahan bentuk energi satu ke bentuk energi yang lain dimulai dari sinar matahari lalu ke produsen, konsumen, sampai ke pengurai di dalam tanah. Organisme memerlukan energi untuk mendukung kelangsungan hidupnya, antara lain untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, bergerak, dan metabolisme yang ada dalam tubuh (http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi-dalam.html)
Energi dapat diartikan sebagai kemampuan kerja. Energi diperoleh organisme dari makanan yang dikonsumsinya.
Cahaya matahari merupakan sumber energi utama kehidupan. Tumbuhan berklorofil memanfaatkan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Organisme yang menggunakan cahaya untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik disebut organisme fotoautotrof. Organisme yang menggunakan energi yang didapat dari reaksi kimia untuk membuat makanan disebut organisme kemoautotrof.

BAB IV
SUKSESI VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat dinamis dalam interaksinya yangberarti dalam ekosistem mengalami perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi.
Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis).
Di alam ini terdapat dua macam suksesi, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder.

4.1. Suksesi primer
Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asal terbentuk habitat baru. Gangguan ini dapat terjadi secara alami, misalnya tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan Lumpur yang baru di muara sungai, dan endapan pasir di pantai. Gangguan dapat pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883.
 Di daerah bekas letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken) serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya.
Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat terns mengadakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan semak menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan semak menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga terbentuklah hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau dikatakan ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak banyak mengubah ekosistem itu.
4.2  Suksesi Sekunder
Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami gangguan, balk secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada. Contohnya, gangguan alami misalnya banjir, gelombang taut, kebakaran, angin kencang, dan gangguan buatan seperti penebangan hutan dan pembakaran padang rumput dengan sengaja.
Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
 Whittaker (1970) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah sebagai berikut :
(1) Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
(2) Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
(4) Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
(5) Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
(6) Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
(1) Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
(2) Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
(3) Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut.
Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat. Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran. Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi  80 tahun.
Jika hutan hujan mengalami±sekunder akan terbentuk  kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak.Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua Yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi. Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan. Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap.
Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis. Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan.
Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993). 
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia. Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya, yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus; sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung mengarah ke “ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis,  persentase kematian akibat “inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan “survive” (Fox, 1976). Pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat, akan diikuti oleh pembelukaran bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang mengakbatkan adanya perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980; Kellman, 1970).
Keadaan lingkungan yang berubah segera setelah penebangan yaitu, kelembaban, angin, intensitas cahaya adalah akibat “buffer effect” dari belukar tersebut. Akibatnya adalah pada saat “buffer effect” ini mencapai maksimum pertumbuhan, semai kayu berharga mencapai kondisi optimum. Sehubungan dengan ini Marsono (1980) telah mencoba menghubungkan pola pertumbuhan semai jenis Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan sesudah penebangan. Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor lingkungan yang kompleks. Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti Nitrogen, Phosfor tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang menentukan (tidak signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang sama.
 Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Kartawinata (1975, 1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan bahwa suhu dan kelembaban yang memadai sangat menentukan pertumbuhan semai Dipetrocarpaceae. Sementara itu Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga bahwa sesudah 5 tahun tebangan terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang cukup yaitu 5000-30.000 per hektar. Demikian juga Blanche (1975) melaporkan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak berlebihan jumlah semai Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan asli.  Menurut Marsono et al., (1980) bahwa sekitar 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan jumlah semai jenis Dipterocarpaceae mencapai keadaan yang optimal.
Oleh karena itu untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga dan seterusnya waktu itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya dilakukan inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun berikutnya jumlah semai kayu berharga cendrung menurun. Maka sesudah itu (4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia berupa tindakan silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari persaingan dan menutupnya kembali tajuk. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”. Kalaupun setelah inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya dapat dikerjakan.
Selanjutnya Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa jenis-jenis Dipetrocarpaceae yang suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat. Akibat adanya penebangan yang relatif tidak membuka tajuk terlalu berat, pertumbuhannya terstimulir. Namun beberapa tahun kemudian kompetisi yang makin besar dan menutupnya kembali tajuk menyebabkan posisi jenis Dipterocarpaceae mulai menurun.
Sastrosumarto et al., (1979) dan Marsono et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya melaporkan bahwa tiap tinggi semai jenis-jenis berharga cendrung menurun dibanding dengan jenis lain-lain dengan menutupnya tajuk dan persaingan yang semakin berat. Sementara itu jenis-jenis lain mulai menunjukan pertumbuhan yang lebih baik.
Marsono dan Sastrosumarto (1980) telah melaporkan hasil penelitiannya di Stagen untuk tingkat pancang dengan ukuran indeks nilai penting yang merupakan kehadiran relatif (relative density), ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun jenis Dipetreocarpaceae lebih mendominasi tingkat pancang. Perkembangan selanjutnya ternyata berubah, dengan adanya perubahan/penutupan tajuk. Tajuk berkembang dan mulai menutup sehingga intensitas cahaya berkurang. Jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya terangsang sehingga dominasi berubah. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa jenis Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian penebangan dan penyaradan akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya, seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra.
Selanjutnya Marsono (1980) melaporkan bahwa beberapa jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya tersebut berasosiasi positif dengan tanaman suka cahaya Macaranga sp. Ternyata situasi seperti ini hampir merata untuk beberapa HPH di Kalimantan Timur.
Berdasarkan data hasil penelitian Marsono et al., (1980) bahwa beberapa HPH mempunyai persediaan (stocking) pancang jenis-jenis niagawi yang cukup. Marsono et al., (1980) menduga bahwa hal ini disebabkan karena pengamatan mulai dilakukan pada waktu HPH tersebut masih menggunakan highlead untuk penarikan kayu sehingga banyak pohon dan anak pohon yang rusak. Tajuk terbuka berlebihan sehingga menyulitkan jenis ekspor terutama Dipterocarpaceae untuk tumbuh. Akan tetapi kalau jenis niagawi lokal dapat diterima sebagai jenis berharga, persediaan jenis gabungan ini (ekspor + niagawi) telah melampaui standar yang telah ditetapkan. Kenyataan di atas dijumpai pada sekitar 5 sampai dengan 6 tahun sesudah tebangan. Tahun-tahun berikutnya pertumbuhan tajuk begitu cepat demikian juga “nomad species” tumbuh lebih pesat, sehingga intensitas cahaya yang masuk lebih sedikit. Akibatnya dominasi sapihan Dipterocarpaceae menurun karena harus bersaing dengan keras dengan jenis “light loving plant” tersebut.
Dalam hal ini Marsono et al., (1980) menekankan pentingnya pemeliharaan dalam bentuk “timber stand improvement” pada saat yang tepat. Diharapkan dengan usaha tersebut jenis Dipterocarpaceae dapat mempertahankan eksistensinya dan hutan akan mengarah pada komposisi yang lebih sederhana yaitu didukung terutama oleh Dipterocarpaceae yang termasuk “light demanding species” . Pengalaman di Stagen (Marsono, et al., 1980) menunjukan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak terlalu kuat, masuknya cahaya yang tidak terlalu tinggi intensitasnya merangsang pancang jenis Dipterocarpaceae dengan indeks nilai penting 19,17 ; 48,99 dan 42,59 berturut-turut pada hutan sebelum ditebang 4 tahun dan 6 tahun sesudah tebangan.
Untuk memperoleh gambaran suksesi alami tingkat tiang yang ada di lapangan, Soemarna dan Supriadi (1977) telah melakukan inventarisasi suksesi alami pada areal bekas tebangan yang telah berumur 3 – 5 tahun, di Kesatuan Usaha PT. Inhutani II Stagen Kalimantan Selatan. Hasilnya menunjukan bahwa jumlah suksesi alami tingkat tiang dari jenis niagawi adalah 373, 9 pohon tiap hektar, sementara jumlah pancangnya adalah 238, 4 pohon tiap hektar. Akan tetapi pada areal bekas tebangan berumur 3 sampai dengan 5 tahun yang terdapat di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sanggau di Kalimantan Barat, Siswanto dan Soemarna (1986) menemukan tingkat tiang dari jenis niagawi hanya sebanyak 78,7 pohon pada tiap hektar. Untuk daerah Semanggis di KPH Palembang, Soemarna (1978) melaporkan bahwa terdapat tiang dari jenis niagawi sebanyak 245,5 pohon tiap hektar.
Keadaan yang sama dengan Stagen dan Semanggis juga dilaporkan oleh Soemarna dan Suyana (1977) di Suban Burung KPH Palembang, Soemarna dan Suyana (1979) di KPH Ketapang Kalimantan Barat, serta Soemarna dan Suyana (1979) untuk kelompok hutan Sungai Tualan KPH Kota Waringin Timur di Kalimantan Tengah.














BAB V
PERUBAHAN EKOSISTEM RAWA GAMBUT JIKA TERJADI GANGGUAN

5.1. Ekosistem Rawa Gambut
Ekosistem dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam pembahasan mengenai ekosistem, lingkungan juga akan menjadi objek pembahasan. Secara fisik, lingkungan berarti wadah atau tempat berlangsungnya suatu sistem kehidupan organisme atau suatu komunitas. Kondisi lingkungan akan berubah jika terjadi perubahan di dalam ekosistem atau sebaliknya; masing masing  saling mempengaruhi dalam suatu keseimbangan yang dinamis dan merupakan satu kesatuan fungsional (Pratiwi, 2006).
Dengan demikian, ekosistem meliputi seluruh mahluk hidup dan lingkungan fisik yang mengelilinginya, dan merupakan suatu unit yang mencakup semua mahluk hidup dalam suatu area yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat abiotik maupun biotik.

5.2 Kerusakan Hutan Rawa Gambut
Kerusakan Hutan Rawa Gambut saat ini disebabkan oleh:
1. Tidak memperhatikan karakteristik Ekosistem
2. Over Eksploitasi
3. Pembakaran
4. Konversi
Untuk memperbaiki kerusakan tersebut perlu dilakukan tindakan secara silvikultur yang baik. Sistem Silvikultur 1. Pemilihan Jenis Tanaman Pemilihan jenis tanaman merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan rawa gambut, karena pertumbuhan jenis tanaman sanagt tergantung dengan kondisi tapaknya, jika tanaman sesuai dengan kondisi tapak dan iklim mendukung maka upaya pengelolaan lebih efisien dan efektif
Gambar 13: Bagan Pengaruh Berkurangnya Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)
 

















Jika kita lihat dari segi tujuan perlindungan, pola pembuatan tanaman secara campur (mix-forest) akan lebih menguntungkan, dengan penanaman hutan secara campur tersebut, akmulasi serasah sebagai salah satu penunjang kebakaran hutan dapat diperkecil dengan catatan seperti curah hujan, suhu dan organisme renik cukup mendukungnya (Sumardi dan Widyastuti, 2002).
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi:
(1)      Gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar;
(2)      Gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan
(3)    Gambut halus (Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.
       Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman, draenase merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan sifat fisik, Untuk perbaikan sifat biologi tanah yang lebih baik, saat ini dilakukan dengan inokulasi mikroba pelapuk yang dapat merombak bahan organik dengan cepat, seperti jenis penicilium,micoriza dan rhizhobium dan Pseudomonas. Bakteri-bakteri tersebut juga dapat menambat unsur-unsur sehingga dapat memperbaiki kondisi kimia tanah.
Gambar 14: Erosi Tanah (Sumber: Arsip Biologi 6D, 2014)